GresikSatu | Sepanjang tahun 2024, sebanyak 1.426 warga Kabupaten Gresik dilaporkan menderita penyakit stroke dengan rentang usia rata-rata sekitar 40 tahun.
Angka tersebut merupakan kasus baru dari total 2.314 kasus stroke yang tercatat oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik.
Angka ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman stroke bagi masyarakat, terutama yang memiliki riwayat penyakit penyerta atau faktor risiko tertentu.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Gresik, dr Puspitasari Whardani mengatakan, meski mengalami penurunan di banding tahun 2023, angka penyakit stroke selama 2024 masih tinggi.
“Meski begitu, stroke tetap menjadi perhatian serius karena dampaknya yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien,” ungkapnya, Selasa (5/11/2024).
dr Puspita menjelaskan bahwa penyebab utama stroke di kalangan masyarakat Gresik berkaitan dengan pola hidup yang tidak sehat dan berbagai penyakit penyerta.
Faktor-faktor risiko yang dominan di antaranya adalah obesitas, hipertensi, diabetes mellitus, serta kebiasaan merokok berat.
“Jika seseorang memiliki hipertensi yang tidak terkontrol, maka risiko terkena stroke menjadi jauh lebih tinggi,” tuturnya.
Gejala stroke umumnya muncul secara tiba-tiba, seperti kesulitan berbicara mendadak atau tidak bisa menggerakkan sebagian tubuh. Seperti lumpuh separuh badan dan hilangnya kemampuan berbicara.
Dinas Kesehatan Gresik telah melakukan berbagai upaya untuk menekan angka kasus stroke, salah satunya melalui program Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM) yang menyediakan layanan skrining kesehatan bagi masyarakat.
Posbindu PTM berfokus pada deteksi dini penyakit tidak menular, termasuk stroke, dengan melakukan pemeriksaan faktor risiko seperti tekanan darah, kadar gula darah, dan pemeriksaan lainnya yang terkait dengan kesehatan otak.
“Deteksi dini sangat penting, terutama bagi mereka yang berisiko tinggi. Jika dapat terdeteksi sejak awal, penanganan stroke bisa lebih optimal dan risiko kerusakan yang lebih parah bisa diminimalkan,” jelas dr. Puspitasari.
Sementara untuk penanganan pasien tergantung pada tingkat keparahan, beberapa pasien mungkin hanya membutuhkan fisioterapi dan obat-obatan, sementara yang lain mengalami kondisi lebih serius seperti kelumpuhan atau gangguan bicara yang berkepanjangan.