GresikSatu | Pulau Bawean yang berjarak 80 mil atau 130 km dari daratan Kabupaten Gresik, semula dinamai dengan sebutan Pulau Majeti atau Pulau Majdi. Majdi sendiri berasal dari bahsa arab yang berarti uang logam. Dikatakan uang logam lantaran bentuk pulau ini, hampir persis seperti uang logam. Tapi, mengapa akhirnya menjadi nama Bawean?
Konon, diceritakan ketika kerajaan Majapahit mencapai pada masa keemasannya, ia bermaksud untuk mempersatukan nusantara di bawah kekuasaannya. Untuk itu, dikirimlah pasukan-pasukan armada laut Majapahit ke daerah-daerah seberang.
Sampai di tengah perjalanan, ternyata salah satu rombongan pasukan armada yang terkirim itu, mendapatkan musibah terkatung-katung di Laut Jawa. Mereka (para rombongan) diterpa angin kencang dan badai, diselimuti kabut tebal, dan diayun-ayun oleh gelombang besar sampai berminggu-minggu lamanya.
“Banyak diantara mereka yang meninggal dunia karena tidak kuat menahan lapar, dahaga, dan hawa yang amat dingin. Hingga akhirnya jumlah armada tinggal beberapa orang saja,” ucap Zulfa Usman dalam bukunya Cerita Rakyat Dari Bawean (Jawa Timur) penerbit PT Grasindo tahun 1996.
Suatu pagi, setelah angin mereda dan kabut menghilang, tiba-tiba terlihat dari atas perahu mereka nun jauh disana, di ufuk timur sebuah gugusan gunung yang tampak samar-samar. Tetapi semakin lama pemandangan itu semakin jelas kelihatan karena ada sinar matahari pagi. Maka, pasukan Majapahit yang tersisa itu pun langsung menuju gugusan tersebut.
Dengan bersusah payah dan dengan menguras sisa tenaga yang ada, sampai jugalah pelaut-pelaut itu ke gugusan gunung yang dituju. Ternyata Gugusan itu sebuah Pulau Kecil. Di pulau asing inilah mereka dapat menyambung jiwanya. Kemudian berbahagialah mereka karena baru saja terbebas dari bahaya maut.
“Apalagi sambutan dan pelayanan dari penduduk setempat sungguh menyenangkan bagi para armada Majaphit tersebut, baik pelayannya mengenai pakaian, makanan, atau tempat tinggal yang disediakan para pendatang itu,” lanjutnya dalam buku Cerita Rakyat Dari Bawean.
Karena gembiranya itu, terlontarlah dengan tak sengaja dari mulut mereka rangkaian kata-kata indah, Ba-we-an. Berasal dari bahasa sansakerta ,Ba artinya sinar We artinya matahari, dan An artinya ada. Jadi Bawean mempunyai arti Sinar Matahari ada, atau ada sinar matahri.
Rangkaian kata tersebut terungkap karena pimpinan mereka ingin mengenang dan bercerita saat-saat akhir pasukan armada berjuang antara hayat dan maut di tengah laut, yang akhirnya mereka selamat berkat pancaran sinar matahari di celah-celah gugusan gunung. Sinar matahari inilah yang membuat hari mereka bergairah kembali menyambung hidup.
Hingga akhirnya mereka rela hidup di pulau yang baru dikenal itu. Mereka hidup dengan bahagia sejahtera bersama penduduk setempat . Tidak ada lagi di antara mereka yang berhasrat kembali ke Kerajaan Majapahit karena hidup di Pulau yang baru itu sungguh menyenangkan hati mereka .
Sejak itulah mereka menyebut Pulau itu sebagai Pulau Bawean, yang dengan perlahan-lahan sebutan Pulau Majeti atau Pulau Majdi tidak terdengar lagi.
Sekedar informasi, masyarakat Pulau Bawean sudah merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia, walaupun pada dasarnya para penghuninya berasal dari berbagai suku bangsa di Nusantara ini.
Nama Bawean tetap dipakai sampai sekarang dan merupakan nama kebanggaan dari penduduknya. jadi, apa yang dilakukan pemimpin rombongan dalam memberikan nama pada salah satu kejadian penting itu, adalah hal yang baik. Perlu kita contoh agar peristiwa itu tetap dikenang generasi berikutnya.