Oleh: Priyandono
Seiring berlangsungnya Pendidikan Program Guru Penggerak (PGP) dan Program Sekolah Penggerak (PSP), istilah coaching clinic menjadi sangat populer. Kegiatan ini awalnya dilakukan oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kepentingan Kependidikan Kemendikbud Ristek untuk membantu guru guru yang sebagai Calon Guru Penggerak (CGP), namun mengalami masalah ketika akan menyelsaikannya hingga berkas terkirim. Tidak sedikit memang, yang mengalami kendala tersebab pendaftaran dilakukan dalam jaringan. Di sana calon pendaftar harus mengisi biodata, mengunggah dokumen penting, portopolio dan menulis esai.
Sejauh ini, istilah coaching memang belum begitu familiar di telinga para guru. Mereka lebih akrab dengan istilah mentoring dan konseling. Dalam benak guru pada umumnya, coaching adalah istilah dalam dunia olah raga. Misalnya, belum lama ini mantan pelatih timnas U-19 Indra Syafri datang ke Gresik. Bertempat di Gelora Joko Samudra, dia memberikan coaching clinic kepada murid murid Sekolah Sepak Bola (SSB).
Coaching memang kali pertama populer di dunia olah raga. Sekarang ini, coaching tidak hanya berurusan dengan masalah fisik dan keterampilan menggocek bola saja, tapi juga menuntun seseorang mengenali dirinya sendiri, kesehatan, bisnis, organisasi, bahkan pendidikan.
Ruang lingkupnya juga cukup luas mulai dari kesehatan, lifestyle, kompetisi sosial emosional, dan memulai usaha. Sasarannya adalah orang orang yang ingin melejitkan potensinya. Biasanya, mereka diberikan pendampingan individu maupun kelompok secara singkat. Tidak sampai berhari-hari atau berbulan bulan. Umumnya 1 jam hingga separuh hari.
Coaching dalam Konteks Pendidikan.
Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, Guru laksana petani. Hanya menanam benih-benih cinta di persada. Hanya merawat tetanaman di belantara maya pada. Tak sanggup memaksa segala rupa tetanaman berbunga indah mekar berbuah. Guru tak kan mungkin mencipta takdir takdir manusia kecilnya.
Mereka tumbuh kembang dengan langkah dan jalannya sendiri.
Murid bukanlah seperti kertas putih. Bukan pula tabularasa. Dia terlahir memiliki potensi dan bakat yang masih samar. Tugas Guru adalah menebalkannya. Menuntun laku anak hingga menemukan menemukan kemerdekaan belajarnya.
Coaching menjadi salah satu proses menuntun belajar anak hingga menggapai kekuatan kodratnya. Mengantarkan anak dari tempat berada saat ini ke tempat lain yang menjadi tujuannya. Guru sebagai seorang pamong dapat memberikan tuntunan melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka, reflektif dan efektif, sehingga kekuatan kodrat anak terpancar dari dalam dirinya.
Keberhasilan proses dan hasil belajar tidak bisa dipisahkan dengan kedudukan, fungsi dan peran guru. Salah satu peran guru adalah menjadi coach bagi guru lain atau rekan sejawatnya. Mereka berkolaborasi dalam komunitas praktisi. Di sana mereka saling mengisi, saling melengkapi dan saling menguatkan dengan berbagi praktik baik coaching.
Hal di atas akan menjadi sebuah budaya positif di sekolah kalau dilakukan secara konsisten dan terus menerus. Keterampilan coaching saat menjadi sangat penting untuk melejitkan potensi murid. Dalam (Whitmore, 2003) ditegaskan, coaching menjadi kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya. Coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar dari pada mengajarinya.
Guru harus bisa menjadi coach yang baik. Ini bisa diawali dengan terus mengasah keterampilan bertanya dan meningkatkan kualitas komunikasi serta menahan diri untuk tidak langsung memberikan solusi. Kepiawaian guru dalam memberikan coaching tentunya memiliki andil besar terhadap keberhasilan murid dan orang orang-orang yang ada di sekelilingnya. Mulailah! (**/)
Catatan : Penulis adalah Pengawas Sekolah dan Fasilitator Program Guru Penggerak.