Damar Kurung dan Ketahanan Budaya

Oleh: PRIYANDONO **

Teknologi informasi merupakan anak emas globalisasi. Pada era ini semua aktivitas berbasis mesin terintegrasi jaringan internet (internet of things). Akibatnya, di samping batas antarnegara semakin kabur, jaringan internet juga menjadi katalisator penyebaran budaya. Tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mampu menghindar darinya, sehingga mengalami keterbukaan budaya.

Fakta di atas melahirkan sebuah konsekuensi. Sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran sejarah dan budaya dituntuk untuk waspada dengan cara meningkatkan ketahanan budaya. Kita memiliki tanggung jawab yang amat besar mewariskan dan menjaga budaya adiluhung warisan leluhur dari kepungan budaya mancanegara. Klaim bangsa asing terhadap budaya kita merupakan sebuah bukti lembeknya ketahanan budaya kita.

Ketahanan budaya adalah kemampuan kebudayaan dalam menerima, menyeleksi budaya baru (baca: asing), kemudian menyatukan dan menginkorporasikannya menjadi satu kesatuan budaya Indonesia. Di tengah derasnya arus globalisasi, meningkatkan ketahanan budaya adalah sebuah keniscayaan. Mengapa? Pertama, karena kebudayaan bersifat dinamis. Dia selalu mengalami perubahan. Melalui ketahanan budaya, perubahan itu tidak kita biarkan berjalan semaunya sendiri, akan tetapi kita arahkan, kita kontrol, dan kita koreksi. Kalau tidak, niscaya nilai-nilai dan budaya kita akan mengalami pergeseran dan lama kelamaan akan sirna. Atau bahkan diklaim negara lain.

Kedua, kebudayaan itu seperti benda organis. Anthropolog A.Cohen mengungkapkan bahwa kebudayaan itu seperti benda organis yang hidup sehingga selalu mengembangkan kemampuan adaptasi agar dapat survival. Kebudayaan tidak ubahnya seperti tubuh manusia. Manusia akan tetap sehat manakala tahan menghadapi bibit penyakit. Sebaliknya, manusia akan jatuh sakit ketika tidak tahan menghadapi gempuran bibit penyakit. Pun juga budaya. Dia akan tetap lestari manakala kita memiliki ketahanan dalam menghadapi gempuran budaya asing. Sebaliknya, dia, budaya itu akan punah tersebab tidak memiliki kemampuan adaptasi karena lemahnya ketahanan budaya.

Gerakan Satu Rumah Satu Damarkurung (GSRSD) sudah sepatutnya disambut secara terbuka dan diapresiasi secara positif. Ini merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan ketahanan budaya. Damarkurung merupakan warisan budaya adiluhung yang menjadi salah satu ikon Kabupaten Gresik. Di samping bentuknya yang unik, keempat sisinya terdapat lukisan yang juga memiliki makna filosofi dan sejarah. Lewat lukisan itu kita diajak melihat aktivitas keseharian masyarakatkan Gresik. Damar (lampu) dalam kurungan ini kali pertama dipopulerkan oleh mendiang Masmundari. Awalnya merupakan dolanan anak-anak menjelang Ramadan yang dipasang di teras rumah untuk penerangan.

Melalui GSRSD kita akan terhibur. Lampion khas Gresik dengan beragam keunikannya akan memberikan kesenangan estetik. Damarkurung merupakan olah cipta, rasa, dan karsa yang memiliki nilai keindahan yang tinggi. Apabila nilai-nilai keindahan ini dieksploitasi sedalam-dalamnya tidak mustahil akan melahirkan kehalusan budi seseorang.

Tidak hanya itu, selain memberikan kesenangan estetik, juga kesenangan intelektual. Lewat GSRSD, nalar kritis kita diajak menyusuri masa silam, berdialog secara imajiner dengan masyarakat Gresik yang hidup pada masa itu. Setlah mendeskripsikan aktivitas kesehariannya, mengeksplanasikan latar belakang sejarah dan filosofinya dan melakukan kontempelasi ihwal ajaran-ajarannya.

Oleh sebab itu, diharapkan semua warga Gresik diharapkan holopis kuntul baris mendukung GSRSD. Utamanya sekolah-sekolah, Dukungannya terhadap gerakan ini sebaiknya dimanifestasikan ke dalam  pembelajaran Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang diarahkan pada tema kearifan lokal Gresik. Setidaknya, ini akan menguatkan karkter gotong royong, kreatif dan berkhebinekaan.

Selain sebagai Lembaga pendidikan, sekolah juga berfungsi sebagai lembaga yang mewariskan kebudayaan. Oleh sebab itu guru-guru memiliki tanggungjawab melahirkan insan-insan yang berbudaya. Peserta didik perlu dikenalkan terlebih dahulu dengan budaya yang ada di sekelilingnya sebelum mereka bergumul dengan budaya luar. Ini sangat peting untuk agar peserta didik tidak mengalami culture shock.

GSRSD harus terus digelorakan. Jangan hanya sekadar obor-obor blarak. Setelah Agustusan, gerakannya melemah. Jangan. Kalau gerakan ini dilakukan terus menerus dan konsisten, Damarkurung akan semakin eksis dan mendunia bukanlah sebuah utopia. Masyarakat Gresik pun akan semakin meneguhkan jatidiri ke-Gresik-annya.

**Penulis adalah, Pemerhati masalah Sosial, Sejarah dan Budaya

Rekomendasi Berita

Advertisement

Gresik Gres