Guru Serba Bisa: Jadi Coach, Mentor, dan Konselor

Oleh : Priyandono

Pengalaman menukangi sebuah tim sudah cukup kenyang saya rasakan meskipun  hanya seorang pelatih kasti, bukan pelatih ahli. Bahkan saya pernah “dipaido” oleh kapten tim kasti yang saya kreasi. “Pak, sampean itu tanya-tanya thok, tapi nggak pernah ngasih solusi,” keluhnya.

Menanggapi keluhan tersebut saya bergeming. Saya sadar sebagai coach, saya tidak akan memberikan tips kepada anak asuh saya (coache). Meskipun sebenarnya saya memiliki strategi yang ciamik. Saya tetap bertahan meskipun sebenarnya pundak saya sudah tak mampu menahan keluhannya.

Tujuan saya melakukan coaching adalah menuntun dan mengarahkan agar para pemain yang saya besut (coache) mampu mengoptimalkan potensinya dan menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga tujuannya tercapai.

Hubungan saya dengan mereka adalah sederajat. Mitra kerja. Sebagai coach tugas saya sebatas mengarahkan. Di hadapan para pemain kasti saya berusaha menebar senyum dan menunjukkan wajah bahagia agar para pemain juga membangun ingatan bahwa pelatihnya selalu bahagia saat memberikan arahan. Pemain (coache) yang mengambil keputusan sendiri. Mereka yang melakukan eksekusi sendiri di lapangan.

Baca juga:  Belajar dari Peristiwa Rengasdengklok

Pada kesempatan lain, saya membagikan pengalaman saya saat menjuarai turnamen kasti dalam jaringan. Saya bahkan memberikan tips menembus penerbit mayor. Tidak hanya itu saya juga memberikan kiat kiat agar tulisan dimuat di media massa cetak maupun online.

Saya kemudian ditegur kolega saya: “Katanya coach tidak boleh memberikan tips. Hanya mengarahkan,” protesnya.

“Benar, brow. Tetapi saat memberikan tips dan berbagi pengalaman itu posisi saya bukan sebagai coach, tapi sebagai mentor.

Saya katakan pada kolega saya, mentoring yang saya lakukan tujuannya adalah membantu menti untuk mengembangkan dirinya. Menti saya itu belum berpengalaman menulis di koran dan menerbitkan buku di penerbit mayor. Saya tegaskan juga, bahwa mentoring itu hubungan antara orang yang berpengalaman dengan orang yang kurang berpengalaman. Jadi mentor langsung memberikan kiat atau strategi untuk mencapai tujuan.

Alhamdulillah kolega saya paham. “Sampean iku isok wae nggawe alasan,” katanya sambil tertawa kecil.

Esok harinya menghadap saya salah satu pemain kasti yang sudah gantung sepatu. Dia menyampaikan menyampaikan masalahnya. Dia pingin anaknya jadi pemain kasti, tapi anaknya pingin jadi pawang hujan. Menghadapi kenyataan ini dia bingung lalu datang ke tempat praktik saya.

Baca juga:  Selamat Datang Kurikulum Merdeka

Saya langsung memberikan solusi agar anaknya itu menjadi pawang hujan saja. Sebab masa depan pemain kasti sekarang tidak jelas. Habis meraih medali emas, mengharumkan nama daerahnya, tetap saja ngarit. Lebih baik jadi pawang hujan, kalau dikonttak tim liga 1, bayarannya besar. Apalagi dikontrak tim Eropa.

Kolega saya protes lagi. “Sampeyan ini bagaimana kok langsung ngasih solusi begitu,” tanyanya heran.

Tenang Brow. Saya tadi itu bukan sebagai coach maupun mentor. Tapi sebagai konselor. Kegiatan yang saya lakukan adalah konseling. Tujuannya adalah membantu menyelesaikan masalah. Dalam konseling, konselor bisa saja langsung memberikan solusi atau penyelesaian masalah.

Nah, dalam dunia pendidikan seorang guru diharapkan dapat menjadi coach, mentor, dan konselor. Sulit? Iya. Tetapi kesulitan itu hanya terjadi pada orang orang yang tidak pernah mencoba atau melakukan.

Selamat mencoba dan melakukan. Terus bergerak, memberikan kontribusi.

Penulis adalah, Pengawas Pembina Dispendik Prov Jatim

Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler

spot_img