Oleh : Priyandono
Arus artinya adalah aliran, gerakan, dan atau peredaran. Dalam fisika dikenal ada arus kuat (elektro),ada juga arus lemah (elektronika). Ada arus searah (DC), pun juga ada arus bolak-balik (AC). Kuat arus sama dengan muatan listrik dibagi waktu.
Di perairan laut Jepang dikenal ada yang namanya arus panas dan ada arus dingin. Kuroshiwo dan oyashiwo.
Pada saat libur panjang dan atau mendekati hari raya, jamak dijumpai yang namanya arus mudik.
Perihal arus, setidaknya ada 4 strategi menyikapinya. Pertama, *ikuti arus*. Mengikuti arus bukan berarti membebek. Nginthil. Yes man. Asal bapak senang. Mengikuti arus berarti menjalankan regulasi, taat terhadap hukum dan Undang-undang yang berlaku. Orang orang yang mengikuti arus hidupnya tenang. Bisa tidur nyenyak dan bangun dengan penuh kebugarannya.
Antonimnya adalah melawan arus. Yakni tindakan melawan hukum, Undang-undang serta norma. Orang orang yang melawan arus hidupnya selalu was-was. Dihantui perasaan bersalah dan ke mana-mana merasa dikejar-kejar dosa. Oleh karena itu hindari tindakan ini karena itu bisa membahayakan diri sendiri. Ingat, ikan berenang saja mengikuti arus.
Seyogianya, guru juga mengikuti arus. Kalau sekarang arusnya, Kurikulum prototipe, merdeka belajar yang bermuara pada terwujudnya profil pelajar Pancasila ya kita ikuti. Tak perlu acuh tak acuh mengatakan: nanti kalau menterinya ganti, kurikulumnya dan programnya ganti lagi. Nanti ketika jatuh tempo menteri ganti, kurikulumnya juga ganti akan mengatakan hal yang sama. Ini berbahaya kalau terus dilakukan berulang-ulang. Kalau ini yang dilakukan, selamanya ya tidak akan bergerak dan berkontribusi. Yuk, kita lakukan saja yang sudah ada di depan mata. Pilihannya cuma dua: menggerakkan roda perubahan atau digilas roda perubahan
Kedua, *pelajari arus*. Sebelum berlayar nahkoda wajib mengetahui arus, agar kapal yang dikemudikan tidak terseret arus. Mempelajari arus berarti mencermati serta waspada terhadap fenomena yang sedang mengapung ke permukaan. Arus yang mengalir kita kontrol dan kita arahkan. Ini perlu agar bisa melakukan treatment sehingga tidak terjadi hubungan arus pendek. Tidak terbawa arus yang bisa membuat diri kita tergelincir atau bahkan digulung arus.
Misalnya dalam hal politik. Kita harus bisa mempelajari ke mana arus politik bergerak. Sehingga sebagai guru tetap bisa netral. Tidak terseret arus dukung mendukung. Kegagalan mempelajari arus berdampak pada munculnya ragam anomali. Tentunya kita tidak berharap anomali pendidikan itu menyeruak ke permukaan.
Di era global seperti sekarang ini, batas antarnegara kabur. Lalu lintas tenaga kerja semakin ramia. Pergerakan budaya juga tidak bisa dibendung. Menghadapi arus globalisasi kita juga harus dapat mengontrol dan mengarahkan semua arus yang masuk. Hal itulah yang akan mengantarkan kita tetap eksis dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Ketiga, *bentuk arus*. Guru harus bisa menciptakan arus agar murid-muridnya dan orang-orang di sekitarnya mengikuti arus yang mereka ciptakan. Para Dwija harus menjadi pelopor dalam menciptakan arus inovasi, arus kreasi, arus inspirasi. Dengan begitu, guru menjadi seperti buku yang bergerak. Menjadi pusat informasi. Sumber inspirasi. Teladan bagi semua.
Arus yang dibentuk diharapkan mampu menjadi local genius. Semakin banyak. Murid yang memiliki local genius, ke depan akan semakin banyak orang-otang dewasa yang mampu eksis hidup di tengah dunia global tanpa tercerabut dari akar budaya dan sejarahnya.
Keempat, *tentukan arus*. Jalan itu tidak selalu lurus. Apalagi di daerah pegunungan. Banyak tikungan tajam, bahkan di sebelah kiri-kanan banyak jurang yang terjal. Tidak hanya itu, pada setiap persimpangan jalan (lampu merah) selalu ada belokan. Di situlah kita harus bisa menentukan arus (baca:arah). Menentukan arus artinya menentukan pilihan serta mengambil keputusan yang tetap dan benar. Perihal ini, kata kuncinya harus bisa membedakan antara dilema etika dengan bujukan moral.
Arus Bawah
Setelah dapat mengimplementasikan 4 strategi di atas, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan. Apa itu? Kekuatan arus bawah. Jangan meremehkan arus bawah.
Sejarah telah mencatat, rakyat sebagai representasi kekuatan arus bawah tidak boleh dipandang sebelah mata, apalagi diabaikan. Kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan akhirnya jatuh pada abad XIV salah satu penyebabnya adalah banyaknya pemberontakan yang dilakukan oleh raja-raja subvat-sal. Misalnya, Pemberontakan Ronggolawe, pemberontakan Semi, pemberontakan Kuti, Pemberontakan Lembusora dan lain-lain
Raja Perancis Louis XIV harus meninggalkan turun tahta setelah 72 tahun berkuasa secara. Rakyat yang tidak tahan hidupndi tengah absolutisme akhirnya menyerang penjara Bastille yang menjadi simbol kesewenang-wenangannya. Revolusi Sosial di Perancis pun pecah.
Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto harus mengundurkan diri dari jabatannya karena desakan arus bawah yang tak bisa dibendung menyusul maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Peristiwa Mei 1998 kemudian menjadi pintu menuju masa reformasi hingga saat ini. Rakyat (arus bawah) lah sebenarnya yang membidani lahirnya era reformasi.
Saya tutup tulisan saya kali ini dengan mengutip pendapat Presiden Soekarno: “Aku ini bukan apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat, berjuang karena rakyat, dan aku penyambung lidah rakyat”. (*/)
Penulis adalah, Pengawas Pembina Dispendik Prov Jatim