Kammari di Rumah Praktik

Malam adalah waktu sibuk di tempat ini. Saya yang duduk lama sendirian dekat pintu masuk hanya bisa memandang kedatangan para tamu sambil beberapa kali menikmati minuman serasa apel. Dari pengeras suara, terlantun lagu milik Chrisye. “Malu aku malu,” terdengar suara perempuan di belakang saya yang mengikuti lagu “Kisah Kasih di Sekolah”.

Perlahan suara Chrisye berganti keramaian para pelanggan. Minuman serasa apel tersisa seperempat gelas. Selama duduk, saya menyibukkan diri pada catatan di buku tulis. Seseorang akhirnya memanggil saya. Dia mengajak saya duduk di salah satu sudut ruangan. Dia mengatakan bahwa temannya akan membantu saya untuk mengetahui tempat ini.

Saya berdiri dan menghampiri temannya. Kami pun duduk berhadapan sambil memperkenalkan diri masing-masing.

“Mohon maaf, saya mengganggu kesibukan Anda. Setelah saya melihat tempat ini ternyata bukan kafe. Justru rumah. Kenapa ya?”

Sebuah buku tersodor kepada saya. “Kammari” terbaca jelas pada tulisan di kover.

***

Apa yang kita pandang dari bagian kota lama? Kita bisa menunjuk bangunan peninggalan Belanda, bangunan berumur setengah abad lebih, bangunan berbentuk kekhasan tersendiri, atau bangunan masuk cagar budaya. Kita benar-benar kagum memandang dan menunjuk bangunan-bangunan yang kokoh berdiri.

Biasanya hal yang kita lakukan ke bagian kota lama: swafoto untuk media sosial; memahami bentuk bangunan; belajar memperdalam sejarah; hingga sekadar menikmati suasana. Ternyata sebagian dari kita menginginkan lebih. Sebagian dari kita itu adalah lima anak muda (Rahmad Rizky Dwisaputra, Bahari Teranggono Simamora, Achmad Rekha Rizqullah, Muhammad Hafidz Hendrawan, dan Muhammad Ishomuddin) yang membentuk ruang komunal.

 

Pintu masuk dari bangunan belakang Kammari gang III di Jalan HOS Cokroaminoto
Foto: Aji (2022)

Nama ruang komunal mereka adalah Kammari. Mereka ingin Kammari menjadi tempat berjejaring, sarana edukasi, re-kreasi, dan kongsi dagang. Selain itu, Kammari diharapkan menunjang produktivitas dalam berkarya. Dan bagian kota lama Gresik menjadi lingkungan ideal bagi mereka menumbuhkan Kammari.

Mereka telah menyewa salah satu rumah tua tanpa penghuni di bagian kota lama Gresik. Rumah tersebut berbentuk “ruko” di era 1960-an yang bagian depan bangunan menghadap jalan raya di Jalan Samanhudi No. 17; sedang bagian belakang bangunan menghadap gang III di Jalan HOS Cokroaminoto.

Tata Ruang Kammari
Foto: Muhammad Ishomuddin (2022)

Agar mengenal lebih dekat rumah tersebut, mereka melakukan riset. Hasilnya penghuni sebelum mereka adalah pasangan suami istri yang berprofesi sebagai dokter gigi. Selain tempat tinggal, rumah tersebut juga dikenal sebagai tempat praktik. Rumah tersebut jadi kosong ketika penghuninya memutuskan pindah tempat tinggal ke daerah Taman Bungkul, Surabaya, pada tahun 1998.

Kata “praktik” yang pernah disematkan di rumah tersebut coba dihidupkan lagi dalam semangat kebersamaan terhadap Kammari. Mereka tidak ingin citra yang sudah terbentuk pada rumah tersebut hilang. Pada akhir 2021, rumah tersebut dikonstruksi ulang dengan fungsi baru sehingga tampak jadi beberapa tempat: kantin, toko kreatif, perpustakaan, galeri, dan studio desain. Beberapa tempat diharapkan melahirkan kesegaran kreasi. Mereka pun menggelar Urup Pawon dan bengkel lukis.

Kegiatan Urup Pawon di Kantin Kammari
Foto: Irfan Nur Said (2021)

Urup Pawon adalah kegiatan dari kantin dengan bertukar kreasi melalui kuliner. Pada 28 Desember 2021, mereka mengundang Rachmat Ibe, salah satu gastronomi dari Bandung, untuk berkreasi. Rachmat Ibe mentransformasikan kuliner dari Gresik sehingga tersaji menu Salad Menir, Tenggiri Geber, hingga Kenanga Infused Water.

Urup Pawon menjadi penggalan dari tempat-tempat di Kammari sebagai ruang kreatif yang bisa memberikan opsi kepada orang-orang untuk kembali bermain dan berkreasi di bagian kota lama Gresik.**

 

Catatan: Kolom Sastra GresikSatu diasuh oleh penyair dan penikmat seni rupa Aji Saiful Ramadhan yang tinggal di Gresik.

Rekomendasi Berita

Advertisement

Gresik Gres