Kisah Generasi Kedua Damar Kurung Gresik yang Tetap Eksis Meski Sepi Pesanan

GresikSatu | Damar kurung, lentera berbentuk kubus yang menjadi simbol budaya Ramadan di Gresik, kini kian jarang terlihat.

Lentera yang dahulu menggantung di depan rumah warga saat menyambut malam Lailatul Qadar itu mulai ditinggalkan, tergeser oleh lampu-lampu hias modern.

Namun, di tengah sepinya pesanan, keluarga maestro Masmundari tetap setia menjaga warisan budaya ini.

Adriyanto, generasi kedua damar kurung dari garis keturunan Masmundari, menceritakan tantangan yang ia hadapi. Sejak pandemi Covid-19, peminat damar kurung menurun drastis. Bahkan, menjelang Ramadan tahun ini, belum ada satu pun pesanan yang masuk.

“Mulai terasa sejak Covid. Pesanan terus menurun tiap tahun. Untuk tahun ini belum ada yang pesan, jadi kami belum produksi,” ungkapnya saat ditemui di rumah produksinya di Kelurahan Tlogopojok, Kecamatan Gresik, Jumat (4/4/2025).

Adriyanto merupakan putra bungsu dari Rokayah, satu-satunya anak Masmundari. Setelah sang ibu wafat pada Juli 2024, produksi damar kurung sempat terhenti. Ia mengaku kehilangan sosok penting yang selama ini menjadi penjaga semangat dalam melestarikan budaya tersebut.

Baca juga:  Mengenal Sayyid Abdul Malik Isroil, Jaksa Agung Paling Adil pada Masa Kejayaan Giri Kedaton Gresik

“Setelah ibu meninggal, memang sempat mandeg. Tapi saya tetap berusaha meneruskan. Apalagi banyak juga pengrajin lain yang muncul. Kami bersyukur masih ada yang mau melestarikan, meski tidak ramai seperti dulu,” ujarnya.

Meski kompetisi makin ketat dan selera pasar berubah, Adriyanto tetap memegang teguh prinsip: menjaga keaslian damar kurung. Ia menyebut bahwa nilai budaya jauh lebih penting daripada sekadar tren pasar.

“Pesan ibu, kalau mau yang asli, datanglah ke sini. Rezeki sudah ada yang ngatur,” kenangnya.

Ciri khas damar kurung buatan keluarga Masmundari terletak pada visualnya. Menggambarkan aktivitas masyarakat Gresik, mulai dari pasar bandeng, pengajian, hingga tradisi padusan. Warna-warna cerah dan garis-garis khas menyerupai wayang kulit menjadi identitas yang tak lekang oleh waktu.

“Gambarnya terinspirasi dari kakek yang seorang dalang. Jadi gaya lukisannya juga mirip dengan wayang,” tutur Nurhayati, kakak Adriyanto, yang turut membantu produksi damar kurung.

Baca juga:  Serunya Tradisi Rasol di Pulau Bawean Gresik, Tradisi Memandikan Sapi ke Laut di Musim Tanam 

Dengan telaten, Nurhayati merakit damar kurung dalam berbagai ukuran, dari 30 hingga 50 sentimeter. Harga per unitnya berkisar Rp 35 ribu hingga Rp 75 ribu. Tak hanya dari kertas dan bambu, ia kini juga membuat versi akrilik untuk mengikuti perkembangan zaman.

“Yang dari akrilik memang lebih mahal, mulai dari Rp 300 ribu. Tapi lebih kuat dan tahan lama,” jelasnya.

Inovasi tersebut menjadi bagian dari upaya mereka agar damar kurung tetap relevan. Di tengah gempuran budaya modern, Adriyanto dan Nurhayati tidak berjalan sendiri.

Dukungan datang dari banyak pihak, termasuk lewat peluncuran museum virtual “Mbah Masmundari” yang bisa diakses secara online.

“Tujuannya untuk mengenalkan damar kurung kepada generasi muda. Supaya mereka tahu, Gresik punya warisan seni yang luar biasa,” tandas Nurhayati.

Reporter:
Chofifah Qurotun Nida
Editor:
Aam Alamsyah
Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler