Oleh : Wildan Erhu Nugraha**
Bulan Agustus selalu identik dengan peraya kemerdekaan Republik Indonesia. Semua ikut bersolek menyiapkan bulan yang menjadi penanda baru dalam sejarah Indonesia. Gedung, gang, jalan sampai tempat-tempat perbelanjaan ikut meramikan Hari Ulang Tahun (HUT) RI dengan menghias tiap sudut ruang dengan warna yang khas merah putih, di gang-gang perumahan hingga perkampungan tak kalah meria, gemerlap lampu seolah menjadi penanda jika semua elemen masyarakat ikut gegap gempita merayakan kemerdekaan. Kemerdekaan yang konon katanya harus diperjuangkan dan ditunggu sampai 3,5 Abad, meskipun ada juga beberapa sejarawan mempertanyakan apa benar bangsa kita dijajah bangsa asing sampai 3,5 Abad.
Dalam satu momentum sambutan oleh Pak RT dalam kegiatan jalan sehat peringatan HUT RI, Ia mengantakan jika kita sebagai warga negara yang baik maka harus ikut serta dalam mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang bermanfaat untuk lingkungan sekitar. Setelah sambutan tersebut, saya mulai berpikir dan merefleksikan kenapa seolah sambutan dalam peringatan HUT RI di mana saja seakan sudah template. “ Tugas generasi hari ini adalah mengisi kemerdekaan.” Maka pikiran saya tiba-tiba kenapa harus kita yang mengisi, memang siapa yang menghabiskan ? apa generasi masa lalu yang menghabiskan ? atau memang generasi masa lalu belum tuntas dalam mengisi kemerdekaan.
Pada tahun 2022 negara kita tercinta telah memasuki usianya yang ke-77, jika dibandingkan dengan usia kebanyakan manusia Indonesia maka angka 77 jika digolongkan maka bisa dikatakan memasuki usia senja atau manula. Namun jika disandingkan dengan usia sebuah bangsa atau negara, maka masih tergolong kelompok remaja, pada catat sejarah banyak sebuah negara,bangsa dan kerajaan yang usianya sudah berabad-abad pun dapat runtuh. Namun usia 77 tahun ini jika diperbandingkan dengan usia negara modern khususnya negara-negara eks kolonial seperti India, Afrika Selatan, RRT dan negara-negara Asia Tenggara maka Indonesia masih seangkatan atau kata orang Gresik sak pantaran. Yang kemudian menjadi pertanyaan sekarang, apakah kita masih selevel dengan negara – negara tersebut atau jangan-jangan kita sudah tertinggal ?.
Dua – tiga tahun telah kita lewati dengan segala keterbatasan, adanya pandemi telah mengubah segala bentuk tatanan masyarakat. Tak berlebih jika banyak yang mengatakan keberadaan pandemi ini merupakan penjajah. Penjajah yang membatasi semua gerak-gerik manusia di seluruh belan bumi.
Siapa sangka virus Covid-19 telah menjadi garis batas yang mengubah paras dunia dan tatanan kehidupan manusia. Manusia-manusia pembentuk era modern, era ketika manusia menjadi penguasa tertinggi alam. Era ketika manusia menjadi sang penentu. Era ketika manusia mencipta, mengonsumsi, namun dewasa ini harus dibikin kerepotan oleh makhluk renik bernama Covid-19.
Kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat pun diambil pemerintah. Tak terkecuali dunia pendidikan juga mengalami imbas wabah ini. Melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah mengeluarkan kebijakan kegiatan pembelajaran jarak jauh. Peserta didik dan guru tidak lagi berinteraksi dalam sebuah ruang kelas, tapi ruang kelas dihadirkan di setiap rumah-rumah peserta didik atau lebih populer dengan istilah belajar dari rumah. Tentu kebijakan ini diambil sebagai bentuk antisipasi dari masifnya penularan Virus Covid-19 di masyarakat.
Sebagai pendidik, tentu adanya wabah ini telah menghadirkan kebiasaan baru yang harus diadaptasi, khususnya dalam proses belajar mengajar. Pada awalnya kebijakan pembelajaran jarak jauh diperkirakan tak akan lama, mungkin hanya dua pekan. Perkiraan ini disesuaikan dengan masa hidup virus di dalam tubuh manusia atau dalam istilah medis dikenal sebagai masa inkubasi. Namun kenyataan berkata lain, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) nyatanya harus berlangsung hingga berjilid-jilid. Angka terkonfirmasi pasien tak kunjung landai, mala meningkat.
Kegiatan belajar mengajar di semua jenjang pendidikan harus dilaksanakan secara jarak jauh dengan pelbagai metode, mulai dari siaran digital melalui jaringan internet atau siaran melalui televisi dan radio. Segala upaya ini tentu merupakan bentuk ikhtiar para pendidik untuk tetap memastikan transfer pengetahuan tetap berjalan meski di suasana wabah yang belum terkendali. Kebiasaan baru dalam dunia pendidikan ini menjadi penanda era baru dalam sejarah dunia pendidikan kita.
Manusia modern diketahui ada sekitar seratus ribu tahun dan dalam rentang waktu itu tak banyak perubahan yang tercatat. Namun di masa mendatang, jejak manusia modern pada era ini akan bisa dikenali lewat artifak sampah-sampah yang kita tinggalkan: plastik, kemasan makanan, masker dan limbah medis. Tentu sebagai kaum terpelajar (pendidik dan peserta didik), kita harus juga mampu mewariskan hal baik kepada para generasi penghuni bumi selanjutnya.
Ingatan pendek adalah musuh kesiapsiagaan, ingatan-ingatan tentang persoalan wabah Covid-19 yang kita alami tak seharusnya menguap begitu saja. Sebagai pendidik mata pelajaran sejarah, saya ingin menawarkan gagasan sesuai dengan disiplin keilmuan saya. Kita harus mengarsipkan ingatan kita. Ingatan-ingatan kita tentang kondisi wabah ini harus menjadi narasi positif agar mampu menjadi catatan yang dapat terus dibaca oleh generasi berikutnya.
Memang dalam kondisi wabah ini, memiliki permasalahan yang kompleks. Bukan hanya soal kondisi kesehatan saja, namun sekian dampak wabah ini juga berakibat pada krisis ekonomi dan sosial. Pertanyaannya, mampukah manusia mengatasi wabah ini ?
Belum lagi banyak masyarakat di sekitar yang bersikap culas terhadap wabah ini. Rendahnya literasi dan lebih mempercayai info dari media sosial tanpa ada proses verifikasi. Narasi anti sains yang terus diproduksi dan direproduksi oleh mereka yang tak bertanggu jawab secara masif menggerogoti usaha-usaha tenaga medis dalam melawan Virus Covid-19.
Bagaimana dengan kondisi hari ini ? akhir-akhir ini kita mendengar covid kembali mewabah meskipun angka penularannya masih kecil. Namun kewaspadaan tetap harus di tingkatkan dan momentum bulan Agustus bulan kemerdekaan ini harusnya menjadi pemantik untuk sekali lagi melawan penjajah (Virus) Covid-19. Belum selesai persoalan pandemi Covid, negeri kita di uji lagi dengan wabah Penyakit Mulut dan Kaki (PMK) yang menjangkit hewan ternak kaki belah, paling banyak menjangkit sapi. Tentu wabah PMK menjadi pukulan berat bagi pelaku peternakan, sudah ada ribuan sapi terjangkit dan mati. Dari dua kasus wabah baik Covid atau PMK sebenarnya mampu diantisipasi oleh bangsa Indonesia jika pemerintah dan pengambil kebijakan mau serta serius melihat catatan atau dokumen di masa lalu. Artinya ingatan – ingatan yang pernah ada dalam perjalanan bangsa Indonesia sudah saatnya ditempatkan tidak hanya menjadi romantisme masa lalu tapi menjadi kerangka berpikir yang kritis, logis dan rasional sehingga bangsa ini dapat melangkah ke depan dengan pertimbangan-pertimbangan masa lalunya.
Semoga kita selamat melaluinya…..
**Penulis adalah, Staf Pengajar di SMA Nahdlatul Ulama 1 Gresik