Oleh : Priyandono **
Share. Kata yang berasal dari bahasa asing itu menjadi populer karena kerap diucapkan orang di tengah derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hampir setiap kalimat komunikatif dibangun dengan menyertakan kata share. Misalnya, nanti materinya share di sini; segera di-share ya; mana, kok belum di-share; jangan di-share dulu karena masih berupa draft.
Selain share, ada yang tidak kalah populer. Kata asing juga. Apa itu? Link. Hampir setiap hari mulai dari bangun hingga akan beranjak tidur lagi, kita nyaris tidak bisa menghindari kata ini. Di manapun kita berada. Seorang siswa ketika hendak masuk kelas virtual pasti bertanya: mana link-nya. Para pebisnis saat akan melakukan video conference, juga mengirim link kepada calon audience, Ibu ibu PKK kala hendak “zoom meeting” pun bertanya link-nya. Hidup sepertinya hanya mampir nutul link. He… He… He….
Share atau berbagi menjadi sangat penting. Watak dasar manusia adalah bekerja sama. Salah satu prinsip hidup adalah berjamaah. Oleh karena semangat berbagi harus tetap digelorakan. Ilmu yang dibagikan tidak akan habis, tapi justru semakin berkembang. Harta akan semakin bertambah kalau dengan ikhlas membagikan sebagian yang dimiliki. Mereka yang tidak mau berbagi adalah orang-orang yang egois. Menjadi GTK berprestasi, piagam dipajang di dinding rumah, piala ditaruh di atas meja di pojok ruang tamu. Semua itu tidak ada artinya kalau ilmu yang dimiliki tidak pernah dibagikan.
Ruang tempat untuk berbagi itu sangat luas, sehingga tidak perlu khawatir kalau “tidak dipakai” di lingkungan Anda sendiri. Itu tidak masalah. Kita dapat berbagi dengan siapapun, kapanpun dan di manapun. Kadang kita ini lupa, teman-teman di sekeling kita itu banyak yang memiliki praktik baik yang layak untuk di share. Banyak di antara sejawat yang sangat inspiratif. Tetapi justru luput dari perhatian.
Share atau berbagi merupakan salah satu modal untuk membangun mental prestatif. Semakin sering berbagi, potensi untuk mendongkrak prestasi menjadi semakin besar.
Modal yang lain adalah mendengar yang tidak terdengar. Kita ini belum mampu menjadi pendengar yang baik, tetapi pandai menyuarakan. Ernest Hemingway mengingatkan agar seseorang itu mendengarkan dengan baik ketika seseorang lainnya sedang berbicara. “Saat orang berbicara, dengarkan sepenuhnya. Kebanyakan orang tidak pernah mendengarkan,” pesannya.
Orang-orang yang berprestasi adalah orang-orang yang mampu mendengarkan yang tak terdengar. Tidak sekadar mendengar burung berkicau, ayam berkokok, harimau mengaum, tapi mampu mendengarkan suara bunga yang sedang mereka, suara matahari yang memanaskan bumi, suara rumput yang meminum embun pagi, suara angin yang menyapu gerah, suara alunan ombak yang menyapa pasir di pantai.
Mendengar yang tak terdengar menjadi penting. Seseorang dapat disebut berprestasi ketika mereka mampu mendengar suara hati orang-orang di sekelilingnya, mendengar kepedihan yang tak diungkapkan, mendengar keluhan yang tak diucapkan, mendengarkan perasaan yang tak diekspresikan. Orang orang yang berprestasi adalah orang orang yang memahami kesalahan dan kekurangan yang melingkupi dirinya.
Setidaknya itu yang saya tangkap dari yang disampaikan sosiolog asal Universitas Airlangga Surabaya Sukowidodo pada sesi terakhir gelaran GTK Creative Camp (GCC) belum lama berselang.
Penulis adalah, Pengawas Pembina Dispendik Prov Jatim