Menelisik Wabah PMK Sapi Ternak di Era Kolonial

Oleh : Wildan Erhu Nugraha

Suasana lebaran belum usai, pemberitaan di media masa pun masih didominasi mengenai kondisi lalu lintas mudik dan arus balik lebaran. Di tengah arus pemberitaan mengenai mudik dan arus mudik, beberapa hari yang lalu masyarakat Jawa Timur dan Gresik khususnya dikagetkan dengan adanya temuan wabah Foot and mouth diaseas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang menjangkit kurang lebih 650 hewan ternak besar di Gresik yang didominasi sapi.

Menurut rilis berita yang termuat pada Gresik Satu berjudul (Ratusan Sapi di Gresik Terinfeksi Wabah Penyakit Mulut Kuku) virus ini diketahui pertama kali menjangkit peternakan sapi pada akhir bulan April 2022 dan mewabah pada awal Mei. Menurut laporan Dinas Pertanian Kabupaten Gresik, terdapat 4 kecamatan di Gresik yang teridentifikasi terpapar cukup parah virus yang pertama kali menjangkit Indonesia pada tahun 1887 tepatnya di Karisidenan Malang.

Masalah peternakan menjadi salah satu prioritas Pemerintah Kolonial Belanda untuk meningkatkan ekonomi negeri jajahan termasuk di Indonesia. Dari beberapa daerah yang kemudian menjadi fokus pemerintah Kolonial Belanda dalam mengembangkan usaha budi daya peternakan hewan besar adalah di wilayah Jawa Timur hal ini dapat dilihat dari data statistik sebaran hewan ternak besar yang ada di beberapa Karisidenan di Jawa Timur. Sebagi contoh misalnya, pada pertengahan abad ke-19, jumlah ternak yang dipelihara masyarakat di Karisidenan Surabaya pada saat itu berjumlah : 129.568 ekor kerbau, 51.284 ekor sapi dan 22.899 ekor kuda. Pada tahun 1846, Karisidenan Surabaya mengimpor dari daerah lain 2.936 ekor kerbau, 7.842 ekor sapi, dan1.137 ekor kuda. Pada tahun yang sama, Karisidenan Surabaya juga mengekspor 3.599 ekor kerbau, 2.097 ekor sapi, dan 1.241 ekor kuda.

Baca Juga : Ratusan Sapi di Gresik Terinfeksi Wabah Penyakit Mulut Kuku 

Tahun 1890-an bermunculan masalah yang terjadi pada hewan ternak. Pada tahun itu sering terjadi masalah yang menimpa hewan ternak adalah yang dikekola oleh petani ternak susu dan daging yang ada di wilayah Jawa. Umumnya di derah Jawa Timur yang paling banyak terjadi di daerah Malang. Untuk mendapatkan daging yang baik dikonsumsi dan terhindar dari berbagai macam jenis penyakit maka, pemerintah Kolonial Belanda mendirikan subuah Lembaga yang berfungsi sebagai pengawasan dan pemeliharaan terhadap hewan ternak. Maka pada tahun 1892 didirikanlah suatu lembaga yang  kemudian  diberi nama  Burgerlijke Veeartsenijkundige Dienst ( BVD ).

Pada saat pendiriannya lembaga ini hanya memiliki tenaga 22 orang dokter hewan, 14 orang kepala mantri hewan, 10 orang mantri hewan, dan 14 orang calon mantri hewan jumlah tersebut sangat sedikit jika dibandingkan dengan luas wilayah beserta jumlah ternak yang harus di urus di seluruh Hindia Belanda. Untuk menunjang keperluan tenaga medis hewan pada tahun 1860-an di kota Surabaya didirikan Scholl Teropleiding Van De Veeartsenijkunst Atau sekolah mantri hewan, tapi sekolah ini tidak berjalan dengan lancar, karena selama 9 tahun hanya menghasilkan 8 mantri hewan. Akhirnya semua sekolah mengenai kehewanan di pusatkan di Bogor.

Baca juga:  Menjadi Guru yang Berhamba pada Murid

Sebenarnya Indonesia telah terbebas Penyakit Mulut dan Kuku pada tahun 1990 penyakit tersebut benar-benar dinyatakan hilang dan secara resmi Indonesia telah diakui bebas PMK oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia atau Office International des Epizooties (OIE). Setidaknya dalam catatan sejarah, Indonesia pernah 3 kali mengalami wabah Penyakit Mulut dan Kuku. Tahun 1928  penyakit Mulut dan Kuku kembali menyerang peternakan di Jawa Timur yaitu di Kabupaten Bojonegoro, jumlah hewan ternak yang terserang penyakit mulut dan kuku antara lain : 1.020 ekor lembu, 336 ekor kerbau dan 4 ekor kambing.

Pada tahun 1929 penyakit mulut dan kuku menyerang hewan ternak di perdesaaan Kabupaten Gersik, sehingga di desa-desa tersebut tertutup untuk mobilitas hewan ternak baik yang akan dibawa keluar maupun dibawa masuk. Beberapa penyakit hewan lain yang sering menyerang hewan ternak di Provinsi Jawa Timur adalah penyakit surah, druis, dan tubercoluse. Akibat dari terjadinya penyakit mulut dan kuku yang menimpa ternak peliharaan masyarakat, pada saat itu masyarakat mengalami kerugian yang sangat besar. Peternak dilarang untuk menjual ataupun mengkonsumsi ternak yang tertular oleh penyakit mulut dan kuku, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kesehatan ternak.

Baca Juga : 13 Ekor Sapi di Gresik Mati Karena Terinfeksi Wabah PMK

Proses pengawasan hewan ternak yang akan di sembelih juga dilakukan secara ketat. Pengawasan tersebut dilakukan di pasar-pasar hewan dan dilakukan oleh mantri hewan. Hewan ternak yang paling banyak diperiksa adalah sapi, karena sapi merupakan hewan yang paling rentan untuk tertular penyakit mulut dan kuku. Tanda khas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) adalah  lepuh-lepuh berupa tonjolan bulat yang berisi cairan limfe pada rongga mulut, lidah sebelah atas, bibir sebelah dalam, gusi, langit-langit, lekukan antara kaki  dan di ambing susu menimbulkan kerugian terhadap sistem ternak.

Karena pemerintahan Provinsi Jawa Timur pada masa Hindia Belanda mulai berdiri pada tahun 1928, sebelum itu pemerintahan daerah tingkat atau daerah baru ada pada tingkat karisidenan ( gewest ) dan kabupaten belum ada, sehingga urusan peternakan di tingkat daerah biasannya ditangani langsung oleh pemerintah karisidenan atau pemerintahan di bawahnya. Kondisi ini menyebabkan pelayanan kesehatan hewan ternak seperti vaksinasi dan pengobatan hewan oleh pemerintah  masih belum dirasakan pelayanannya oleh masyarakat. Sejak tahun 1878 telah dibuat undang-undang tentang pengawasan ternak. Undang –undang tersebut diperbaiki pada tahun 1892, 1893, 1897, 1901, 1902, 1903, 1904, 1906, 1908, dan 1912. Perbaikan itu disesuaikan dengan kondisi ternak pada saat itu dan diharapkan mampu mengawasi perdagangan, industri dan penyakit ternak.

Baca juga:  Dorong Peternak Sapi Kembali Bangkit, Petrokimia Gresik Beri Bantuan Senilai Ratusan Juta

Kebijakan Dinas Kehewanan dalam melindungi ternak dari penyakit menular dituangkan dalam undang-undang ternak tahun 1912 bab 2 (dua) ayat 1-18, dan pelaksanaannya. Di dalam undang-undang tersebut dijelaskan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Hindia-Belanda dalam menangani penyakit menular pada ternak, yaitu dengan karantina hewan. Semua ternak yang masuk maupun keluar daerah sentra ternak melalui laut harus mendapatkan ijin bebas karantina ternak. Daerah-daerah di jawa yang memiliki dan  mengeluarkan ijin tersebut adalah Tanjung Perak, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Rembang, Surabaya, dan Pasuruan. Intruksi penanganan penyakit menular juga dikeluarkan oleh pemerintah dalam undang-undang tahun 1912 beserta pelaksanaannya.  Penyakit-penyakit hewan yang sering menjangkiti hewan ternak seperti yang termaktub dalam Staatblad tahun 1912 No. 432/435.

Baca Juga : Perhatikan Ciri-ciri dan Dampak Wabah PMK Pada Sapi 

Setelah Indonesia merdeka pemerintah terus berupaya melakukan perbaikan pembangunan dibidang peternakan, Oleh karena itu Pemerintah pada era Orde Lama bertekad untuk mengembangkan peternakan dengan memberantas penyakit mulut dan kuku di Jawa Timur, hal ini sejalan dengan Salah satu tujuan pembangunan nasional yaitu meningkatkan produksi pangan rakyat termasuk pangan hewan, daging, telur dan susu yang merupakan pangan sehat dan cerdas. Kegiatan-kegiatan pembangunan peternakan untuk memproduksi daging, telur dan susu di era Orde Lama antara lain dibentuk Balai Penyidikan Penyakit dan Kuku (BPPMK) di Surabaya pada tahun 1952 dan hari ini menjadi Pusat Veterinaria Farma (Pusvet) berkantor di bilangan Ahmad Yani Surabaya.

Daftar Bacaan

Asman Bainuri dkk, Pribumi Dalam Persfektif Perekonomian Masa Pemerintahan Belanda ,Jakarta, Bentang Pustaka.

Khusyairi Jhony A, dkk. 2011. Peternakan di Jawa Timur (Sejarah, Lembaga, dan Perannya dalam Pembangunan Nasional; Cetakan Pertama; Surabaya; Dinas Peternakan Jawa Timur kerjasama Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga.

Thomas Stamford Rafless. The History of Java. Uraian mengenenai penggunaan tenaga hewan ternak untuk membantu mengerjakan lahan pertanian, alih bahasa Eko Prasetyaningrum dkk, (Yogyakarta: Narasi,2008).

Laila Sania, Peran Veterinaria Farma Dalam Mendukung Kesehatan Hewan Di Jawa Timur Tahun 1952-1988, (Skripsi Ilmu Sejarah Universitas Airlangga)

Arsip Nasional RI, Memori Serah Jabatan 1921-1930 (Jawa Timur dan Tanah Kerajaan), (Jakarta:ANRI,1978)

 

Wildan Erhu Nugraha, Tim Riset dan Kajian LESBUMI PCNU Gresik dan Staf Pengajar di SMA NU 1 Gresik.

Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler

spot_img