Di antara beberapa program Nawakarsa jilid pertama, mungkin PKH Inklusif termasuk program yang patut untuk ditimbang kembali. Apakah masih relevan untuk ke depan. Bukan soal like or dislike. Selera. Tapi memang ada pertimbangan teknokratis yang obyektif. Terutama untuk mengakselerasi prioritas-prioritas strategis daerah.
Setidaknya, ada dua alasan mengapa PKH Inklusif perlu ditinjau, dilihat kembali.
Pertama, diferensiasi intervensi. Pasal 6 UU No 11/2009 jo Pasal 3 PP No 39/2012, membagi penyelenggaraan kesejahteraan sosial menjadi empat pendekatan. Yakni jaminan sosial, perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, dan pemberdayaan sosial. Fakir miskin, yatim piatu terlantar, dan lansia terlantar adalah kelompok yang menjadi kualifikasi jaminan sosial. Negara menjamin hak atas kebutuhan dasar mereka!
Dengan kata lain, mereka ini yang disebut pendekatan langsung. Keterpencilan, kemiskinan struktural, jauh dari akses sektor formal dan infrastruktur dasar, atau kondisi-kondisi disfungsi sosial lain yang tak menguntungkan dan membuat mereka rentan, menjadi dasar bagi negara untuk melakukan intervensi langsung. Dalam bentuk jaminan sosial.
Karena itu, Pemerintah melalui anggaran negara mengalokasikan program jaminan sosial, salah satunya ialah PKH. Berkaca pada alokasi pada tahun 2022, total penerima manfaat program PKH di Kabupaten Gresik sebanyak 187 ribu warga. Sementara, data BPS menyebut total penduduk Gresik ialah 1,2 juta jiwa. Artinya, jaring pengaman sosial yang digelontorkan melalui PKH sudah mengcover hampir dua desil terbawah. Sudah cukup harusnya. Meski sudah bergeser ke tahun 2025, tapi relatif angka-angka kumulatif tersebut tidak bergeser jauh.
Tinggal, bagaimana perangkat daerah kemudian mengejar akurasi atau menekan anomali data. Data indikatif yang dirilis BPS, bagaimana mampu dikejar menjadi data subtantif yang berkualitas. Sehingga program terselenggara secara presisi dan tepat sasaran. Sebenarnya, Nawakarsa jilid pertama menawarkan program Gresik Satya, yakni revitalisasi basis data kemiskinan daerah terintegrasi. Namun sebagai sebuah diskresi, program tersebut kurang tereksekusi dan diterjemahkan dengan baik.
Dengan begitu, semestinya anggaran daerah lebih diorientasikan untuk menciptakan diferensiasi. Tapi bukan diferensiasi yang destruktif, melainkan konstruktif. Memberi variasi-variasi lain. Menawarkan alternatif guna menyempurnakan apa yang sudah dioerientasikan anggaran negara. Bukan malah mempersamainya.
Karena baik PKH regular yang bersumber anggaran negara maupun PKH Inklusif yang bersumber anggaran daerah, memiliki karakteristik yang sama, yakni jaminan sosial. Belum lagi, berkaca pada alokasi tahun 2022, anggaran PKH Inklusif terbilang sangat terbatas, hanya 5 Miliar dengan menyasar 2.450 penerima manfaat. Sementara PKH regular memakan anggaran sekitar 125 miliar. Lagipula, PKH Inklusif hanya menyasar lansia dan difabel. Sehingga perlu diuji kembali secara doelmatigheid, kontribusi dan penetrasinya untuk akselerasi kebijakan pengentasan kemiskinan.
Kedua, pemberdayaan sosial. Oleh karena itu, pola-pola atau pendekatan pemberdayaan sosial menjadi relevan untuk diberi bobot lebih dalam orientasi anggaran daerah. Menteri Sosial Saifullah Yusuf pun berkali-kali menekankan, pentingnya pendekatan pemberdayaan sosial dan target graduasi program. Yakni bagaimana kelompok miskin ekstrim dan miskin diproyeksi menjadi profil keluarga yang berdaya, mandiri, atau setidaknya perlahan-lahan mentas dari kemiskinan.
Untuk itu, ketika Pemerintah sudah menebar jala pengaman sosial berupa jaminan sosial, maka kemudian bagaimana daerah menyempurnakanya dengan intervensi ekonomi, pendidikan, dan pola-pola pemberdayaan sosial lainnya. Penting dicatat, pendidikan adalah cara yang paling strategis untuk mengintervensi profil keluarga miskin.
Anak-anak dari keluarga miskin, perlu diintervensi pendidikannya sampai menempuh perguruan tinggi. Sehingga nanti diharapkan dapat mengakses kesempatan pekerjaan yang layak, bermartabat, untuk selanjutnya mampu mengangkat derajaat kesejahteraan keluarganya. Hal ini jauh lebih berkesinambungan daripada intervensi ekonomi ke kepala keluarga miskin yang rerata profil pendidikannya rendah sehingga intervensinya sangat terbatas.
Pemerintah telah menginisiasi integrasi data kemiskinan, dari semula tersebar yakni DTKS, P3KE, Regsosek, kini menjadi DTSEN. Sebuah upaya yang layak diapresiasi. Karena akan terbangun ketunggalan data, ketunggalan arah dan referensi dalam memproyeksikan program pengentasan kemiskinan. Namun yang lebih menarik lagi, adalah inisiasi Pemerintah untuk menyelenggarakan program Sekolah Rakyat.
Artinya, Pemerintah sudah mulai mengagregasi pola-pola atau model intervensi berbasis pemberdayaan sosial. Di antaranya melalui sekolah rakyat, yang relatif lebih terukur dan terarah, daripada pola-pola bantuan langsung untuk membantali pengeluaran atau konsumsi keluarga-keluarga penerima manfaat. Sekolah rakyat sendiri merupakan program Pemerintah berbasis DTSEN khususnya desil 1 dan 2 atau keluarga dengan profil ekonomi paling rentan.
Nah, dari narasi di atas, baiknya mulai ditimbang kembali keberadaan PKH Inklusif, dan mempertimbangkan untuk mengintrodusir sekolah rakyat yang diselenggarakan oleh daerah. Sekali lagi, bagaimana anggaran daerah diorientasikan secara kreatif untuk memperkuat dan menyempurnakan program-program dari anggaran negara.
Faiz Abdalla
Pegiat literasi; tinggal di Pesarean Makam Auliya, Kompleks Makam Gus Miek, Kediri