Menjadi Guru di Zaman AI

Oleh : Priyandono

Tahun 2009 saya pernah menulis sebuah gagasan di koran nasional yang terbit di Jawa Timur. Judulnya: Asisten untuk Guru. Setelah disertifikasi dan menjadi guru profesional, tentu tugas mereka bertambah banyak, layaknya seperti dokter, dosen serta profesi lainnnya. Ada asisten dokter, ada juga asisten dosen, maka ada pula asisten guru.

Prediksi saya 15 tahun terjawab saat ini. Sekarang guru benar benar memiliki asisten. Namanya AI (Artificial Intelligence).  Melalui asistennya itu, guru bisa meminta bantuan untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Lewat asistennya juga, guru bisa dengan mudah minta bantuan untuk membuatkan salindia sebagai bahan ajar. Pendek kata, guru bisa melakukan apa saja yang berkaitan dengan tugas profesionalnya dengan meminta bantuan asistennya.

Bahkan di dalam Platform Merdeka Mengajar (PMM).guru bisa belajar bersama asistennya. Masalahnya, apakah AI akan mampu menghasilkan perangkat pembelajaran sesuai dengan yang Anda butuhkan, sesuai dengan karakteristik sekolah Anda? Mungkin juga. Atau paling tidak mendekati. Baru saja hadir, akan tetapi kemampuannya membantu guru menyusun perangkat pelajaran sudah melampaui kebanyakan guru yang masih menganggapnya sebagai beban administrasi.

Saat ini pun para guru dikepung oleh flyer-flyer yang mengajak mereka menyusun modul ajar dalam sekejap. Menyusun RPP tanpa berkedip. Menyusun LKPD di ruang tunggu bank sambil menunggu dana utang cair atau menyusun soal ulangan dalam 3,5 menit.

Tawaran tawaran itu menyeruak ke permukaan kala AI usianya masih sangat belia. Tidak bisa dibayangkan seperti apa kepintaran AI ketika dia beranjak dewasa. Mungkin akan bisa dua kali lipat dari sekarang. Bisa jadi, ketika AI mengalami peningkatan kecerdasan, guru tinggal menyuruh AI membuat dokumen pembelajaran. Guru hanya tinggal mengganti nama dan tanda tangan sebagai penyusunnya.

Baca juga:  Mari Mengarsip Ingatan Merawat Kemerdekaan

Bagi guru yang istiqamah menganggap perangkat pembelajaran sebagai beban administrasi, AI bisa jadi sebagai Dewi Fortuna, yang setiap saat bisa dimintai tolong untuk memenuhi permintaan mereka. Dalam sekedipan mata, AI bisa memberi para guru perangkat pembelajaran yang mereka enggan menyusunnya.

Saat ini, AI adalah anak emas teknologi informasi. Kehadirannya tidak bisa dibendung. Ia akan terus disempurnakan dari masa ke masa. Kemampuannya pun akan terus disempurnakan dan tidak ada yang bisa mencegah orang memanfaatkannya dengan cara yang baik maupun buruk serta untuk kepentingan yang positif maupun negatif

Ingat, setiap kemudahan yang ditawarkan AI itu bukan tanpa risiko. Ketika Anda sudah kecanduan menggunakan AI, yang di-publish sama seperti yang didapat dari AI, tanpa disadari Anda telah kehilangan voice. Meminggirkan suara Anda sendiri sebagai guru penyusun yang perangkat pembelajaran Anda berbeda dengan yang lain. AI bisa menyusun perangkat pembelajaran yang Anda minta. Tinggal menuliskan perintah saja perangkat pembelajaranntulisan langsung jadi. Tapi AI tak punya perasaan. Ia mungkin bisa meniru emosi, tapi ia tak pernah mengalami momen-momen emosional yang membentuk karakter dan cara Anda berpikir, cara Anda memaknai setiap perubahan, cara Anda merasakan situasi yang ada di sekitar, cara Anda melakukan transformasi.

Baca juga:  Mengenal Dhurung, Bangunan Adat di Bawean Gresik yang Kini Jadi Warisan Budaya tak Benda

Jadi, tanyangan terbesar bagi guru di era AI adalah merawat suara yang membuat Anda berbeda dengan guru yang lain. Tersebab itu Itu Anda justru harus semakin serius belajar. Guru pun harus tetap berguru, adaptif terhadap perubahan, memahami eksistensi Anda, tahu seperti apa itu guru standar, apa itu guru panik dan apa itu guru oportunis.

Dalam menyikapi perkembangan teknologi pendidikan, ada guru itu yang adaptif terhadap perubahan. Mereka adalah guru standar. Ada juga guru panik, sehingga selalu mencari bantuan untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Berawal dari sini, munculah guru oportunis. Menciptakan peluang yang bisa digunakan untuk.”memanfaatkan” guru panik.

Dengan memahami eksistensi, saya yakin Anda akan menempatkan AI sebagai asisten. Sebagai alat bantu yang betul-betul membantu anda. Anda bisa menjadikannya sebagai kawan berdiskusi. Anda bisa menjadikannya sebagai coach, fasilitator, konselor serta mentor pribadi yang sabar dan baik hati. Anda bisa mendapatkan informasi apa saja dari mereka dengan harga yang murah. Tidak harus menjadi kaya raya dulu untuk bisa menghadirkan coach. Tidak juga harus menjadi golongan the have dulu agar bisa menghadirkan mentor yang andal. Jangan memperlakukan AI sebagai budak. Sekali Anda melakukannya, anda akan kecanduan kepadanya sepanjang waktu. Ini sangat berbahaya karena dapat membuat otak Anda melemah.

Kalau Anda terus menerus dan konsisten melakukannya, saya yakin Anda akan menjadi guru standar. Bukan guru panik yang menjadi santapan empuk guru oportunis.
.

Reporter:
Tim Gresik Satu
Editor:
Tim Gresik Satu
Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler

spot_img