Oleh : Priyandono
Tiba-tiba muncul niat dalam diri Bu Miming melakukan perubahan cara mengajar. Ini dia lakukan setelah mempelajari filosofi dan pemikiran Kihajar Dewantara (KHD). Sejauh ini Bu Miming selalu menganjurkan murid-muridnya untuk mengikuti yang dia inginkan. Menyadari hal tersebut tidak selaras dengan pemikiran Suwardi Suryaningrat, dia lalu memulai dari diri mengubah gaya mengajarnya.
Guru laksana petani. Hanya bisa menanam dan merawat tanaman tetapi tidak bisa memaksa tanaman itu berbuah. Guru tak kan mungkin mampu mengubah takdir murid-muridnya. Anak terlahir sudah memiliki potensi dan bakat sendiri tetapi masih samar. Lamat-lamat. Tugas guru menebalkan, mengarahkan, menuntun, memfasilitasi serta “ngemong” (Among) agar potensi mereka tumbuh kembang dengan langkah dan jalannya sendiri.
Murid diibaratkan sebagai tanaman. Banyak jenis dan ragam tanaman. Oleh karena itu petani (guru) wajib memberikan perlakukan yang beda pada setiap jenis tanaman. Artinya, guru harus melayani murid sesuai kebutuhannya. Guru harus memberikan ruang sehingga murid bebas mengembangkan gagasan dan kreatifitasnya. Inilah yang disebut dengan Merdeka Belajar. Kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan yang absolut, sehingga peran guru sebagai pamong dapat memberikan tuntunan dan arahan. Dengan begitu, para murid selalu berada pada jalan yang benar.
Bu Miming juga sudah memahami bahwa pendidikan Itu berkelindan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Oleh karena itu dia senantiasa menyibukkan diri memberi bekal murid-muridnya dengan kecakapan abad 21. “ini saya lakukan agar kelak anak-anak dapat eksis di tengah dunia global tanpa tercerabut dari akar budayanya,” terangnya.
Bu Miming sekarang tidak lagi memosisikan dirinya sebagai sosok yang serba bisa. Setalah memahami filosofi dan pemikiran KHD, dia menempatkan dirinya sebagai mitra. Menyejajarkan diri dengan murid. “Dengan memosiskan diri sejajar dengan murid, ternyata mereka tampan lebih nyaman dan enjoy dengan kehadiran saya,” ungkapnya.
Bu Miming juga berbagi pengalaman dengan sejawatnya, Pak Mamang. Kepada Pakamang, dia menyarankan agar senantiasa melemparkan senyum dan menunjukan wajah bahagianya. Sebab murid-murid itu akan menyimpan ingatan bahwa gurunya bahagia setiap kali bertemu dengannya.
Akan tetapi Pak Mamang menanggapinya berbeda. Secara serampangan dia menganggap bahwa frase guru berhamba pada murid itu sebuah pelanggaran sehingga perlu diluruskan. “Kajian literasi, salah satu pelanggaran terhadap ajaran ta’lim muta’allim adalah guru harus menghamba pada anak. Ini harus diluruskan,” sergahya
Menanggapi hal tersebut Bu Miming diam. Lalu menarik nafas panjang-panjang dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak emosional. “Filosofi dan pemikiran KHD adalah student-centered. Istilah yang KHD pergunakan adalah “berhamba pada sang anak,” tegasnya
Akn tetapi Pak Mamang tetap ngeyel. “Berbeda antara berhamba dengan menghamba,” tangkisnya
Bu Miming lalu menguraikan bahwa menghamba dan berhamba berasal dari kata dasar hamba (kata benda), yang berarti abdi, budak belian. Kata lainnya berarti saya (untuk merendahkan diri). Lalu mendapat afiks sehingga menjadi kata kerja (verb), berhamba itu verb yang artinya mengabdi, menjadi hamba. Menghamba juga verb, artinya mengabdi (kepada).
Bu Miming tetap berprasangka baik. Dia berpikir mungkin Pak Mamang lupa tidak melihat konteks kalimat dalam memaknai frase tersebut. Dia mungkin lupa bahwa ada istilah makna leksikal dan gramatikal. Ada pemahaman tekstual dan kontekstual.
Dialog Bu Miming dan Pak Miming di atas dapat menjadi bahan renungan dan refleksi. Mari kita membiasakan diri berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara atau berkomentar. Jangan berkomentar atau berbicara dulu setelah itu baru Kau pikirkan. Ingat pesan Cak Nun. Musuh kita bukan siapa-siapa. Dia sebenarnya sangat dekat dan ada dalam diri kita. Apa itu? Kedangkalan dan kesempitan. Kalau kita berpikir secara sempit dan memahami secara dangkal, maka potensi benturan menjadi semakin besar.
Penulis adalah, Pengawas Pembina Dispendik Prov Jatim