Oleh : Faiz Abdalla*
Yang perlu dipahami bersama terlebih dahulu. PKH Inklusif adalah PKH yang bersumber dari APBD Kabupaten Gresik. Ia adalah otentik produk Nawakarsa Bupati dan Wakil Bupati. Sebagai bagian dari klaster Gresik Satya atau prioritas program pengentasan kemiskinan. Artinya, PKH Inklusif merupakan satu dari pokok-pokok pikiran Gus Yani dan Bu Min sebagai pemimpin daerah yang diformulasi sebagai refleksi atas paradoks tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Gresik.
Lantas, sebagai produk lokal, mengapa Bupati memilih nomenklatur PKH? Karena bagi Bupati, PKH dianggap sebagai kontruksi bansos yang lebih empowering dan sustainable. Hanya, sebagai sebuah produk lokal, tentu PKH Inklusif pun memiliki asas dan prinsip yang selaras dengan karakteristik dan sosiologi lokal Gresik. Oleh sebab itu, rumah dari produk kebijakan PKH Inklusif ini adalah peraturan bupati (perbup), bukan peraturan perundang-undangan yang hierarkinya di atas.
Dengan begitu, PKH Inklusif tentu tak sama persis dengan PKH Regular Kemensos maupun PKH Plus Pemprov Jawa Timur. Prinsip empowering-nya mungkin sama, tapi kontruksi norma-nya jelas berbeda. Salah satu contoh saja, bila PKH regular mengenal komponen kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial; lain halnya dengan PKH Inklusif yang mengintrodusir dua kelompok penerima, yaitu difabel dan lansia. Perbedaan itu juga berlaku pada norma yang mengatur tentang tim pelaksana dan skema pendampingannya.
Oleh sebab itu, produk kebijakan ini disebut PKH Inklusif. Penerima manfaat dari program ini menyasar pada DTKS yang belum menerima program bansos yang sudah berjalan. Baik itu PKH Regular, Plus, BPNT, dan lainnya. Karena memang prinsip utama yang melandasi lahirnya program ini adalah pemerataan atau inklusifitas. Nah, yang perlu diapresiasi di sini, bagaimana kerja keras dan progres Dinas Sosial dalam pembenahan data untuk menyisir DTKS program dan non program guna mencapai prinsip pemerataan tersebut.
Dari data nominatif inilah, karang taruna selanjutnya diberdayakan untuk meng-verifikasi secara faktual. Terutama, apakah data topdown hasil nominasi Dinsos tersebut secara faktual meninggal dunia atau pindah tempat tinggal. Dan ternyata, masih banyak ditemukan data yang sudah meninggal dunia. Dari sini saja, kita sudah mengidentifikasi sebuah persoalan DTKS, yakni korespondensi SIKS NG secara bottom up yang belum optimal.
Artinya, apa yang dilakukan Kartar masih di tahap korespondensi data yang menjadi kewenangan Dinas Sosial. Tanpa mengintervensi kewenangan kepala desa untuk menetapkan. Dan melibatkan karang taruna adalah bagian dari inklusifitas itu. Yang mana hal ini diakomodir dalam Perbup PKH Inklusif dalam hal kerelawanan sosial.
Nah, bicara relawan sosial, tentu Dinsos berhak dan sah-sah saja mengoptimalkan PSKS-nya. Bahkan kewajiban. Karena kelembagaan PSKS merupakan tanggung jawab Dinsos. Salah satu dari PSKS itu adalah karang taruna. Pertimbangan Dinsos sangat mendasar, karena karang taruna dianggap sebagai PSKS yang secara struktural mengakar sampai ke tingkat desa. Terintegrasi, ini sangat penting untuk optimalisasi korespondensi data dalam rangka membenahi basis data DTKS yang menjadi salah satu prioritas Gresik Satya Nawakarsa.
Lalu, pertanyaannya, program bansos yang sudah berjalan yang mana yang dirampas Karang Taruna? PKH Regular masih berjalan seperti sebelumnya. Tidak ada fungsi dan konstruksi yang bergeser. Pun PKH Plus atau bansos-bansos lainnya. Semua berjalan seperti biasanya sesuai dengan peraturan yang merumahinya. Tidak ada yang terambil alih.
Atau, saya bisa bertanya balik, apakah penerima manfaat PKH Inklusif yang jelas di luar, berarti telah mengambil alih atau merampas jatah penerima PKH Regular dan PKH Plus? hehe…
Bersambung…..
* Penulis adalah Ketua Karang Taruna Kabupaten Gresik