Oleh: PRIYANDONO **
Kalau kita jalan-jalan, kemudian disodori sebuah brosur atau sejenisnya dan kita bisa membacanya dengan lancar, berarti kita sudah menguasai bacaan. Kalau kita sedang berada di suatu tempat, kemudian kita disodori peta lengkap dengan keterangannya, tetapi masih tetap “kesasar”, berarti kita belum memahami bacaan.
Kawan saya, Mashuri, pernah menulis di dinding facebooknya begini: kenapa pelatihan menulis begitu gegap gempita seperti acara tujuh belasan, sementara pelatihan membaca sepi seperti dini hari ketika listrik mati.
Pertanyaan ini menurut saya layak untuk dipikirkan tindak lanjutnya. Pasalnya, keterampilan membaca dan keterampilan menulis itu laksana sekeping mata uang logam. Kedua sisinya sama sama pentingnya. Seorang penulis akan menghasilkan tulisan berbobot apabila mereka gemar membaca. Pun sebaliknya.
Membaca dan menulis merupakan sebuah keterampilan. Dia bukan sebuah kecakapan yang dipelajari sekali dua kali untuk selamanya.Tidak peduli sudah berapa ratus judul buku yang sudah kita baca, tak peduli pula sudah berapa puluh tahun kita menulis. Kualitas membaca dan kualitas tulisan kita akan begitu-begitu saja ketika kita tidak belajar dan belajar lagi. Diperlukan latihan rutin dan konsisten agar semakin berkualitas bacaan dan karya tulis yang kita hasilkan.
Begitu besarnya manfaat membaca, Jordan E. Ayan seperti dikutip Hernowo (2015:50) menyatakan membaca materi yang tidak berkaitan dengan tantangan kreatif sekalipun, mampu memberikan inspirasi atau ide khusus untuk membantu pekerjaan. Hanya dibutuhkan sepotong kisah, artikel, atau laporan untuk “digelorakan” dalam kesadaran jiwa terdalam dan kita akan menghasilkan pengalaman.
Akan tetapi, kecakapan membaca di kalangan pelajar dan masyarakat pada umumnya bisa dibilang cukup rendah. Budaya oral lebih mengemuka dibanding budaya baca maupun tulis. Para pendahulu kita juga kerap menggunakan lisan sebagai sarana mewariskan budaya. Akibatnya banyak karya-karya yang anonim. Tidak diketahui penulis atau pengarangnya.
Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui halaman Facebook-nya mengungkapkan, rendahnya kemampuan literasi di negeri ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena memahami lietrasi hanya sebatas kemampuan membaca, bukan kemampuan menalar. Kedua, belajar untuk membaca tetapi bukan membaca untuk belajar. Ketiga, aktif membaca tetapi tidak membaca aktif. Keempat, lupa menghubungkan kemampuan menulis dengan kemampuan membaca. Kelima, tidak memahami bahwa membaca bukan bawaan lahir melainkan potensi yang dapat dikembangkan.
Mari kita refleksi sejenak. Dulu. Dulu sekali, ada gejala belajar menghafal. Kala ada pengumuman esok ulangan, seluruh murid mempelajari seluruh materi yang diajarkan oleh gurunya. Mereka membaca buku catatannya. Ketika dirasa kurang lengkap, dilanjutkan dengan membaca buku paket. Setelah dibaca dihafalkan. Mereka menghafalkan teknik membaca berulang-ulang. Ini dilakukan terus menerus sampai “nglothok” atau hafal di luar kepala. Apalagi gurunya selalu minta jawaban atas pertanyaan sama dengan buku paket. Kalau tidak sama disalahkan. Titik komanya pun harus persis sama seperti di buku.
Untuk tujuan jangka pendek dan hal tertentu, boleh lah. Murid-murid yang memiliki lapisan kesadaran setia kemungkinan masih ingat yang dihafalkan semalam, sehingga dapat mengerjakan ulangan dengan lancar. Tapi setelah ulangan selesai mereka lupa lagi. Saya belum tahu persis apakah deskripsi yang dilakukan murid-murid di atas masih menggejala hingga sekarang.
Gejala tersebut dikhawatirkan akan berdampak pada munculnya sebuah pemahaman bahwa literasi hanya sebatas kegiatan membaca, bukan bernalar. Nalar kritisnya tidak berkembang tersebab mereka hanya belajar untuk membaca, bukan membaca untuk belajar. Mereka tidak mampu membuat sebuah interpretasi dan kesimpulan serta tidak mampu mengembangkan pemikiran yang logis, realistis, analitis, tersebab mereka hanya aktif membaca, tidak membaca aktif.
Oleh sebab itu, gejala ini harus segera mendapat diagnosa. Wajah negeri ini ke depan, salah satunya tergantung pada kualitas literasi anak-anak saat ini. Sekolah memiliki tanggungjawab membangun kualitas sumber daya manusia yang bernalar kritis. Guru guru wajib memberikan ruang kepada murid untuk menumbuhkan nalar kritisnya lewat kegiatan membaca. Murid-murid harus dituntun dan dilatih untuk membaca aktif. Lewat cara ini diharapkan guru dapat menuntun, mengarahkan dan memfasilitasi murid muridnya berpikir logis, rasional dan analitis. Tidak sekadar hafal.
Barangkali ini menjadi sebuah tantangan sekaligus peluang baru bagi pegiat literasi menggelar diklat membaca, selain pelatihan menulis. Melalui pendidikan dan latihan membaca diharapakan dapat menumbuhkan sebuah tradisi membaca untuk belajar. Kecuali itu juga untuk membiasakan membaca aktif di lingkungan pendidikan.
** Penulis adalah Pengawas Sekolah di Cabang Dinas Pendidikan Gresik.