Merayakan Tidak Pentingnya Diri

Oleh: Ahmad Rofiq

Semakin kita merasa tidak penting maka hidup kita akan semakin tentram, emosi kita semakin stabil dan hati kita akan semakin bening. Makin merasa tidak penting, kita juga akan makin mudah mengobati penyakit hati berupa “ujub” dan kesombongan.

Selama ini energi kita terkuras hanya untuk membuktikan pada dunia bahwa kita ini orang penting, atau kita ini orang hebat. Sehingga kebanyakan perilaku kita hanya untuk memuaskan ego kita, dibanding untuk merealisasikan tujuan utama kita hidup di dunia ini. Kita tahu, bahwa hidup ini adalah sebuah misi, bukan kompetisi.

Merasa diri penting adalah salah satu sumber berbagai macam penyakit hati, seperti takabur, ujub, riya’ dan sebagainya. Merasa diri penting juga merupakan penghalang terbesar bagi kita untuk bisa ridlo dan puas dengan segala ketentuan Tuhan.  Dengan bahasa religius, puas dan menerima dengan lapang dada segala jenis qodlo dan qodarnya Tuhan. Padahal, jika kita tidak bisa ridlo dengan segala ketentuan Tuhan, maka akan sulit juga kita mendapatkan ridlo-Nya.

Rolf Dobelli, dalam bukunya yang berjudul The Art of The Good Life (Seni Hidup Tentram) memberi beberapa saran agar kita bisa hidup lebih tentram. Saran ini penting bagi kita yang sering punya perasaan terlalu percaya diri, suka mengedepankan ego dan juga ingin menjadi orang yang dianggap hebat atau penting. Sebab perasaan-perasaan inilah yang seringkali menimbulkan kondisi tak nyaman bagi kita. Emosi kita bisa meledak karena hinaan kecil atau remeh, karena usaha kita tak diapresiasi, atau karena tak mendapatkan pujian yang cukup dan memadai dari orang lain. Kita lantas merasa tidak dihargai.

Baca juga:  Kotak Kosong, Hil Mustahil Dalam Pilkada Gresik

Padahal, saat kita semakin jarang mengedepankan ego dan kepentingan diri, maka akan semakin nyaman pula hidup kita. Kesombongan itu membutuhkan energi besar sehingga akan cepat menguras energi kita.

Saat kita merasa hebat, kita harus mengoperasikan pemancar dan radar secara bersamaan. Pemancar ini akan menyiarkan citra diri kita kepada dunia. Di sisi lain kita memasang radar secara terus-menerus untuk mencatat bagaimana lingkungan kita merespon diri kita. Karena itu kita perlu membebaskan diri kita dari  usaha tersebut itu. Agar energi ruhani kita tidak terkuras, maka matikan pemancar dan radar kita. Kemudian fokuslah pada apa yang kita kerjakan saja.

Di saat kita makin merasa diri kita penting, maka akan semakin cepat pula kita terperosok ke dalam “bias melayani diri sendiri”. Kita akan melakukan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan, melainkan untuk membuat diri kita terlihat baik dan hebat di mata orang lain.

Baca juga:  Era Disrupsi: Sebuah Tantangan bagi Lulusan SMK

Ego kita lebih jahat dan lebih berbahaya dibanding musuh kita dalam sebuah pertempuran. Dan ego inilah yang selama sebulan yang lalu kita lawan, kita perangi dan kita kikis semaksimal mungkin. Semakin sedikit perilaku dan tindakan kita yang didasari ego dan kepentingan diri sendiri, artinya semakin berhasil pula kita meningkatkan kelas atau level ruhaniah kita.

Lebih lanjut,  jika kita berhasil mengikis ego kita hingga ke titik nol, kita akan menjadi pribadi yang bahagia. Posisi ego kita di titik nol inilah yang d dalam bahasa tasawuf dinamakan “Maqom fana'”. Dalam artian, ego dan kepentingan diri telah rusak dan hancur. Sehingga jiwa akan terasa lebih enteng dan lebih tentram. Dan orang-orang yang berada di maqom fana’ inilah yang dilabeli kitab suci Al Qur’an sebagai orang-orang yang tidak punya kekhawatiran dan tidak pula bersedih hati (la khoufun alaihim wala hum yahzanun).

Akhirnya, selama merayakan lebaran, selamat merayakan terkikisnya ego dan ke-akuan tidak selamat merayakan tidak pentingnya diri sendiri.

Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler

spot_img