Pembacaan Puisi “Ramadhan” Karya Didik Hendri YN

Minggu, 3 April 2022, ditetapkan pemerintah sebagai awal puasa (1 Ramadhan 1443 Hijriyah). Mengutip koran Republika (2/4/2022), penetapan itu diputuskan dalam sidang itsbat yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) pada Jumat (1/4) setelah pemantauan yang dilakukan di 101 titik di 34 Provinsi di Indonesia tidak melihat hilal.

Penetapan itu juga menandakan bahwa umat muslim melaksanakan ibadah puasa dan meningkatkan spiritual kepada Allah SWT. Kita yang meningkatkan spiritual bisa melakukan tadarus, menahan emosi, hingga merenungkan diri. Bulan Ramadan pun menjadi ajang bagi umat muslim untuk “berlomba” dalam kebaikan.

Di mata penyair, bulan Ramadan dapat menciptakan kreativitas, seperti menulis puisi. Saya mencatat ternyata beberapa penyair Gresik begitu antusias menulis puisi bertema bulan Ramadan, misal: Lenon Machali (Ramadan dalam Puisi); Bambang Hermanto (Mokel 1, Mokel 2, dan Posoan, Rek!); hingga Didik Hendri YN (Ramadhan).

Biodata Didik Hendri YN
Gambar: Istimewa

Tulisan ini hanya mengulas puisi Ramadhan karya Didik Hendri YN. Bukan menepikan puisi-puisi yang lain. Karena Didik Hendri YN, selain penyair, juga seorang jurnalis. Artinya, siapa tahu kita memperoleh cara kejurnalistikan (selain kepenyairan) yang dilakukan Didik Hendri YN ketika menulis puisi Ramadhan.

 

Lelaki Tua dan Sepasang Suami Istri

Puisi Ramadhan ditulis Didik Hendri YN (Didik Hendriyono S.Pd) di Gresik bertahun 2012. Puisi Ramadhan merupakan salah satu dari 6 (enam) puisi karya Didik Hendri YN yang masuk di buku puisi antologi bersama Burung Gagak dan Kupu-kupu (2012). Secara bentuk, puisi Ramadhan berjumlah enam bait dan berima bebas. Jika kita baca, kita mengetahui Didik Hendri YN menulis puisi Ramadhan secara narasi dengan aku-lirik adalah lelaki tua.

Puisi “Ramadhan” karya Didik Hendri YN
Gambar: Istimewa

Kita mulai dari bait pertama puisi Ramadhan. Didik Hendri YN menulis: Selembar kertas koran memaksa tubuhku/ terduduk di emperan pertokoan/ Sesekali ku tengok ke belakang,/ takut sang empunya tiba-tiba membuka pintu/ Malam sudah larut, hening mulai menggelayut/ : Di mana puntung rokok yang kutemukan tadi siang?/ terselip dalam saku celanaku,/ : Oh, pelit sekali pemiliknya,/ tiga sedotan saja sudah habis//

Pembuka puisi Ramadhan memberi kita imajinasi tentang keadaan lelaki tua (kita merasa lelaki tua adalah gelandangan atau tunawisma) sedang duduk beralas selembar kertas koran di emperan toko. Kita menduga kertas koran berukuran 35 X 58 cm atau 42 X 58 cm sehingga tidak dapat membaringkan tubuhnya. Jika lelaki tua memaksa tidur, cuma seperempatbagian tubuhnya yang tidak tersentuh dingin lantai emperan toko.

Meski begitu, waktu menunjuk dinihari, pertanda angin malam menusuk tubuhnya. Barangkali lelaki tua ingin tubuhnya tetap hangat sehingga mengambil puntung rokok yang sempat disimpannya. Lelaki tua sempat menggerutu karena puntung rokok ternyata tinggal tiga kali sedotan setelah dinyalakan.

Baca juga:  Kover Buku Sebagai Respon Alek Subairi

Lelaki tua juga sedang awas, siapa tahu pemilik toko membuka pintu toko. Sepertinya lelaki tua hapal dengan sikap pemilik toko jika mengetahui dirinya beristirahat di emperan toko. Jadi pengusiran dari pemilik toko merupakan hal biasa. Tapi pemilik toko bukan peristiwa utama pada puisi Ramadhan. Peristiwa utama justru dimulai dari lampu mobil menyorot ke mata lelaki tua.

Foto Keluarga Didik Hendri YN
Sumber: Didik Hendri YN

Didik Hendry YN menggambarkan peristiwa utama pada bait kedua, yaitu: Malam kian larut, mata tak kunjung redup/ Sorot lampu mobil merah membuat mataku menyala/ Sepasang laki perempuan tampak asyik bercengkerama/ “Pa, kita mau kemana,/ Kasihan anak-anak kalau ditinggal lama-lama”./ “Masya Allah, Mama sampai lupa/ kalau di rumah tidak ada makanan,/ maafkan Mama ya Pa”.//

Pembicaraan sepasang suami istri tidak berada di dalam mobil karena dapat didengar oleh lelaki tua. Pembicaraan sepasang suami istri berlanjut ke bait ketiga, yaitu: Pembicaraan terus berlanjut,/ mereka begitu suka cita menyambut Ramadhan/ “Semoga Ramadhan tahun ini lebih baik/ dari tahun kemarin, ya Pa”./ “Harus dong, Ma! Kita tidak boleh/ melewatkan begitu saja”./ “Duh, Papa bicaranya kayak ustadz saja,”.//

Kita memperoleh beberapa poin dari pembicaraan sepasang suami istri, antara lain: waktu sahur; antusias dan harapan di bulan Ramadhan; permintaan maaf  dari istri kepada suami karena belum memasak untuk sahur; dan pikiran sederhana suami yang mengajak istri untuk membeli makanan.

Barangkali beberapa poin itu didengar lelaki tua. Namun suasana kesendirian hadir di diri lelaki tua setelah sepasang suami istri tidak ada di hadapannya. Didik Hendri YN menulispada bait keempat: Pembicaraan berhenti, tak ada lagi suara,/ yang ada hanyalah/ seorang lelaki tua yang tersungkur/ meratapi nasibnya//

Kita mengetahui lelaki tua sedang meratapi nasibnya. Kita jadimembuat tiga pertanyaan kepada lelaki tua: Apakah nasib karena Tuhan menentukannya sebagai gelandangan atau tunawisma? Apakah nasib karena perbuatannya akibat masa lalu sehingga masa sekarang sebagai gelandangan atau tunawisma? Apakah lelaki tua memilih nasib sebagai gelandangan atau tunawisma demi zuhud di jalan-Nya?

Tiga pertanyaan di atas tidak terjawab. Didik Hendri YN justru menulis kesadaran lelaki tua setelah mendengarkan pembicaraan sepasang suami istri. Kesadaran yang tiba-tiba hadir. Didik Hendri YN menulis pada bait kelima: :Duh Gusti,/ mereka gembira dalam bulan mulia-Mu/ Mereka merasakan apa yang tak pernah aku rasakan/ Aku berjanji, tak kan lagi meratapi nasib,/ tak kan lagi mencaci diri sendiri//

Baca juga:  Jadi Bahasan di Seminar Kebudayaan Gresik: Sunan Giri Gunakan Kesenian dan Sastra Sebagai Jalan Dakwah

Hubungan ketidaksengajaan dengan sepasang suami istri membangkitkan spiritual lelaki tua atas segala kenikmatan walau dirinya gelandangan atau tunawisma. Ucapan terima kasih itu sebagai penutup puisi Ramadhan, yaitu: Terima kasih, Gusti!/ Aku tunduk dengan semua kehendak-Mu/ Aku terlalu dhoif dan fakir/ untuk mengetahui skenario-Mu/ Ramadhan ini menyatu dengan darahku//

Bersyukur

Didik Hendri YN menampilkan tokoh lelaki tua dan sepasang suami istri pada puisi Ramadhan. Mereka diceritakan tidak saling bersinggungan, artinya puisi Ramadhan memiliki dua kehidupan secara terpisah. Kalau kita telisik, lelaki tua menyiratkan gelandangan atau tunawisma, sedangkan sepasang suami istri menyiratkan keluarga mapan.

Hubungan mereka disajikan ketidaksengajaan. Lelaki tua mendengarkan pembicaraan sepasang suami istri. Dan sepasang suami istri tidak menyadari keberadaan lelaki tua. Hal menarik yang bisa kita catat, ternyata pembicaraan sepasang suami istri menghasilkan kesadaran spiritual bagi lelaki tua.

Dua buku karya Didik Hendri YN atau Didik Hendriyono S.Pd
Sumber: Didik Hendri YN

Kita mengetahui lelaki tua sempat menggerutu ketika puntung rokok yang disimpannya tinggal tiga hisapan. Setelah itu, sepasang suami istri hadir dengan pembicaraan mereka yang tiba-tiba menyadarkannya. Didik Hendri YK tidak menyinggung perbedaan dunia mereka. Kita seakan memperoleh hikmah tentang kesetaraan manusia (entah kaya atau miskin).

Tulisan di atas, Kita juga memperoleh beberapa poin dari pembicaraan sepasang suami istri. Beberapa poin itu seolah petunjuk bagi lelaki tua agar bersyukur kepada-Nya. Apalagi lelaki tua menyadari sepasang suami istri begitu suka cita di bulan Ramadan. Hal itu berbanding kebalik ketika lelaki tuamenggerutu perihal puntung rokok.

Sebagai jurnalistik, Didik Hendri YK berhasil menggambarkan gejolak lelaki tua yang tanpa sengaja mendengarkan pembicaraan sepasang suami istri. Karena itu, sisi spiritual meletupkan hati lelaki tua hingga berterima kasih kepada-Nya. Seolah sepasang suami istri adalah tanda nasihat Tuhan kepada lelaki tua. Dan jurnalistik itu menjadi dasar kepenulisan puisinya.**

 

Keterangan Tambahan: Penulisan kata “ramadhan” (pemakaian konsonan dh) pada tulisan di atas merujuk dalam puisi. Sedangkan kata “ramadan” (tanpa konsonan dh) merujuk pada KBBI.

 

Catatan: Kolom Sastra GresikSatu diasuh oleh penyair dan penikmat seni rupa Aji Saiful Ramadhan yang tinggal di Gresik.

Daftar Bacaan

Didik Hendri YN Dkk (2012), Burung Gagak dan Kupu-kupu, Gresik: Kosakata-G

Perbedaan Pererat Ukhuwah dalam koran Republika halaman 1, pada Sabtu, 2 April 2022

Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler

spot_img