GresikSatu | Penetapan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) sebesar 11,82 persen menjadi Rp 5.190.719,06 melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur nomor 100.3.3.1/776/KPTS/013/2024 menuai penolakan.
Salah satunya dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Gresik. Organisasi pengusaha ini merasa tak dilibatkan dalam penetapan UMSK Gresik 2025. Mereka menilai keputusan itu cacat hukum.
Sekretaris Apindo Gresik, Ngadi menyampaikan bahwa pihaknya keberatan atas penetapan UMSK Gresik 2025 tersebut. Menurutnya, penetapan upah sektoral ini seharusnya didasarkan pada mekanisme yang jelas.
Termasuk adanya kesepakatan antara pihak-pihak terkait seperti Dewan Pengupahan serta rekomendasi dari kepala daerah.
“Kenaikan UMSK harus ada syarat kesepakatan bersama. Ini yang menjadi dasar hukumnya. Jadi tidak ujug-ujug diputuskan tanpa melibatkan kami,” ungkapnya, Sabtu (21/12/2024).
Ngadi menjelaskan, baru tahun ini UMSK diterapkan secara menyeluruh berdasarkan klasifikasi sektor usaha, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Di Gresik sendiri total ada 51 sektor yang masuk dalam UMSK. Sehingga keputusan ini dianggap merugikan, apalagi saat penetapan ini resmi diluncurkan, Apindo tidak merasa diajak duduk bersama.
“Kami melihat, kenaikan ini diputuskan tanpa ada pengusulan dari bupati dan tidak melibatkan kesepakatan bersama, termasuk dengan pelaku usaha,” jelasnya.
Keberatan dari Apindo Gresik juga muncul karena multiplier effect dari kenaikan UMSK. Apalagi kondisi perekonomian saat ini masih belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi.
Atas hal itu, Apindo Gresik berencana melakukan audiensi dengan Gubernur Jawa Timur untuk mencari solusi terbaik. Jika langkah tersebut tidak berhasil, mereka akan mengajukan keberatan secara hukum hingga berkirim surat kepada Kementerian Dalam Negeri.
“Kami berharap melalui audiensi ini ada solusi yang bisa ditemukan. Jika audiensi diterima, alhamdulillah. Namun jika tidak diterima, kami akan berkirim surat keberatan ke Kementerian Dalam Negeri,” terang Ngadi.
Sementara itu, Ketua Klinik Hukum Apindo, Ichwansyah menilai bahwa kebijakan tersebut berpotensi menciptakan masalah baru, terutama bagi perusahaan yang sedang berjuang di tengah tekanan ekonomi global.
“Perusahaan saat ini sedang tidak baik-baik saja. Nilai tukar rupiah terhadap dolar yang mencapai Rp16.000 menjadi salah satu indikator tekanan ekonomi yang dirasakan oleh pelaku usaha,” terangnya.
Menurutnya, kebijakan yang tidak melibatkan semua pihak justru akan menimbulkan dampak yang merugikan tidak hanya bagi pengusaha tetapi juga pekerja.
“Kebijakan ini seolah menciptakan masalah baru. Padahal angka pengangguran di Gresik sebenarnya sudah menurun. Dengan kondisi seperti ini ada potensi problem pengangguran kembali meningkat,” jelasnya.
Ia berharap, pemerintah dapat mempertimbangkan ulang kebijakan ini agar tidak berdampak negatif pada ekosistem ketenagakerjaan di Gresik.
“Jika memang pencabutan UMSK menjadi salah satu solusi, maka harus ada mekanisme yang tepat untuk itu. Kami tidak menolak kebijakan tetapi kebijakan tersebut harus sesuai dengan koridor hukum yang jelas dan tidak merugikan salah satu pihak,” pungkasnya.