Pertunjukan Teater Rooftop Pertama di Gresik, Bercerita Tentang Panas dan Polusi Kota

GresikSatu | Seni pertunjukan tak melulu berlangsung di dalam gedung atau di atas panggung megah. Di Gresik, teater kini juga bisa dinikmati di atap bangunan tua berusia lebih dari seabad.

 Rooftop Café Sualoka Hub yang terletak di Kampung Kemasan, Jalan Nyai Ageng Arem-Arem, Gg II No. 20, Gresik, disulap menjadi panggung terbuka.

Untuk pertama kalinya di kota ini, pertunjukan teater diadakan di atas rooftop, menghadirkan sensasi baru dalam menikmati seni pertunjukan.

Pertunjukan unik ini diprakarsai oleh kelompok teater Kendati Chaos dalam rangkaian program pameran seni “The Jumping City” yang diselenggarakan oleh Yayasan Gang Sebelah.

Dengan latar bangunan kolonial, penonton diajak menyaksikan pertunjukan sambil menikmati panorama pabrik-pabrik kota industri yang menyala di malam hari.

Dipentaskan naskah berjudul “Aku Ingin Menyebut Laut dengan Huruf Kapital di Depannya”, karya Shohifur Ridho’i, arahan sutradara Choiruz Zaman.

Baca juga:  Malam Puncak Literatur 2023, Refleksi Membangun Peradaban Gresik

Cerita ini mengisahkan tentang ingatan akan laut—yang tak lagi asin, hanya pahit. Tentang kehidupan yang terus bergulir di tengah kegelisahan, tentang ruang hidup yang kian menyesakkan.

Teater ini merupakan refleksi dari realitas di Gresik, serta aktivitas yang kita jalani sehari-hari,” ungkap Choiruz Zaman, Jumat (21/3/2025).

Pertunjukan ini juga menarik dari sisi tata panggung. Penonton tidak duduk menghadap satu arah layaknya di gedung teater, melainkan seperti suasana warung kopi—duduk di tengah, dikelilingi oleh para aktor yang bergerak lincah di sekitarnya.

Seperti damar kurung, cerita yang membingkai cahaya, konsep ini membongkar batas antara pemain dan penonton, menciptakan pengalaman yang lebih dekat dan intim.

Setiap gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan perubahan nada suara para aktor terasa lebih intens. Bahkan, gambar-gambar ditampilkan lewat proyektor ke atap rumah tua di sekitarnya, menambah atmosfer yang magis.

Baca juga:  Dukung Pola Hidup Sehat, SD Muhammadiyah 2 GKB Gresik Ciptakan Es Krim dari Sayur

Kendati sempat tertunda akibat hujan, pertunjukan tetap dilanjutkan. Penonton bertahan lebih dari 30 menit dengan mengenakan jas hujan yang disediakan panitia. Tak ada yang bergeming. Seolah ada rasa saling percaya antara penampil dan penonton. Meskipun basah, pertunjukan berlangsung khusyuk.

Salah satu penonton, Harry Koko Priutama, mengaku larut dalam emosi yang dibawakan para aktor.

“Dari pertunjukan ini saya merasakan adanya luapan emosi seperti amarah dan kekecewaan, serta menangkap gambaran hiruk-pikuk kehidupan di Gresik yang tergambarkan dalam pementasan. Ini semacam kritik tersirat terhadap kondisi lingkungan, khususnya alam dan laut di kota ini,” ungkapnya.

Tak hanya penonton, para aktor pun mengaku merasakan kedekatan emosional dengan naskah. Ada yang menyebut pertunjukan ini sangat “relate” dengan kehidupannya di Gresik—panas, penuh polusi, dan semakin jauh dari kenangan laut yang dulu.

Reporter:
Mifathul Faiz
Editor:
Aam Alamsyah
Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler