Pintu-Tembus Perekat Kekerabatan di Kampung Pasar Gede Gresik

Demi memenuhi persyaratan mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Desain Interior di Institut Seni Indonesia Surakarta, sekitar tahun 2016, saya mengerjakan skripsi. Saya diantar oleh Luqman Hakiem, seorang guru MTs Ma’arif Sidomukti Kebomas Gresik dan fotografer, ketika meneliti beberapa rumah tinggal di kampungnya, yaitu Kampung Pasar Gede. Di sana, saya tertarik pada keberadaan pintu.

Pintu itu bukan pintu-utama (pintu depan). Secara posisi tata-ruang-rumah-tinggal, pintu itu (yang membuat saya tertarik) mungkin bisa disebut sebagai pintu-samping dan pintu-belakang. Tapi keberadaan pintu-samping dan pintu-belakang (sejatinya) memiliki fungsi yang hampir sama dengan pintu-utama, yaitu sebagai sirkulasi penghuni untuk keluar-masuk rumah tinggal. Padahal pintu itu (sekali lagi yang membuat saya tertarik) berbeda fungsi dengan pintu-utama. Akhirnya, pintu itu lebih cocok saya sebut sebagai pintu-tembus.

Suasana Kampung Pasar Gede, Gresik
Fotografer: Luqman Hakiem (2016)

Meski pintu-tembus secara posisi tata-ruang-rumah-tinggal berada di samping kanan atau kiri dan belakang, fungsinya berbeda dengan pintu-utama. Hal ini dikarenakan pintu-tembus berfungsi sebagai penghubung antara dua rumah tinggal. Artinya, penghuni dari rumah tinggal pertama bisa masuk ke rumah tinggal kedua lewat pintu-tembus (atau sebaliknya).

Dua pintu-samping (gambar kanan) dari dua rumah tinggal yang terhubung dengan “lompongan” (gambar kiri). Pintu-samping tidak terhubung langsung antara dua rumah tinggal.
Fotografer: Luqman Hakiem (2016)

Sebenarnya, keberadaan pintu-tembus bisa saya temukan pada rumah tinggal di beberapa kampung di Gresik. Karena perihal metodologi penelitian dan batasan masalah, tentu Kampung Pasar Gede jadi fokus saya untuk lokasi penelitian. Saya pun berterima kasih kepada masyarakat Kampung Pasar Gede yang mengizinkan saya untuk meneliti tata-ruang-rumah-tinggal mereka sehingga skripsi berjudul “Studi tentang Tata Ruang dan Pintu Tembus pada Rumah Tinggal di Kampung Pasar Gede, Kelurahan Sidomukti, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik” terselesaikan.

Skripsi itu selesai tahun 2019. Sangat molor kalau dihitung awal pengerjaannya (tahun 2016). Walau molor, banyak hal yang saya pelajari, salah satunya adalah keberadaan pintu-tembus yang digunakan sepasang keluarga yang berbeda tapi masih kerabat. Biasanya masih hubungan paman dan keponakan; orang tua dan anak yang telah berkeluarga; kakak dan adik; hingga mindoan. Sekilas, rumah tinggal mereka berdempetan, seolah berbagi konstruksi dinding bangunan.

Selain Kampung Pasar Gede, saya melakukan observasi di perkampungan Giri Gajah untuk perbandingan
Fotografer: Luqman Hakiem (2016)

Pintu Tembus

Tata-ruang-rumah-tinggal di Kampung Pasar Gede seperti rumah tinggal pada umumnya: Penghuni memiliki kebutuhan ruang secara fisik dan psikis. Selain itu, saya menemukan ruang-ruang tambahan untuk bekerja dan beribadah. Jika mencari perbedaan dengan rumah tinggal pada umumnya, beberapa rumah tinggal di Kampung Pasar Gede memiliki pintu-tembus. Perihal pintu-tembus menimbulkan kecanggungan andai kita memikirkan privasi antar penghuni.

Pintu-tembus berbentuk sederhana. Hanya papan kayu tanpa desain selayak pintu-utama. Ukuran (tinggi x lebar) pintu tembus ternyata bervariasi, antara lain: 180 x 50 cm; 200 x 90 cm; 180 x 70 cm; atau 180 x 90 cm. Variasi ukuran pintu-tembus menandakan tidak ada pakem. Sekarang, mari kita memperhatikan tiga gambar tata-ruang-rumah-tinggal di bawah ini.

Tiga gambar tata-ruang-rumah-tinggal di Kampung Pasar Gede, Kebomas, Gresik
Gambar: Aji (2016)

Tiga gambar tata-ruang-rumah-tinggal di atas memiliki beberapa warna dengan deskripsi sebagai berikut: Warna abu-abu untuk rumah tinggal pertama; warna biru untuk rumah tinggal kedua; warna kuning untuk rumah tinggal ketiga; warna hijau untuk dapur; dan garis warna merah untuk tanda keberadaan pintu-tembus.

Jika mengamati garis warna merah yang menyentuh warna hijau dan warna lain (abu-abu, biru, atau kuning), kita mengetahui penempatan pintu-tembus berada di dapur milik salah satu rumah tinggal (mengacu gambar 2 dan gambar 3) dan pintu-tembus berada di dapur milik masing-masing rumah tinggal (mengacu gambar 1).

Pintu-tembus yang terbuka langsung menghubungkan antara rumah tinggal pertama dengan rumah tinggal kedua.
Fotografer: Luqman Hakiem (2016)

Kita perlu memperhatikan penempatan pintu-tembus. Hal ini mengingatkan saya pada tulisan Ernst Neufert di buku “Data Arsitek Jilid I (1996), yaitu: “Pada bagian dalam sebuah gedung (atau bangunan) pintu harus terpasang secara tepat, karena pembagian pintu yang tidak perlu akan mengurangi penggunaan ruang yang akan mengakibatkan sulitnya penggunaan ruang dan kerugian tempat terbuka….”

Tulisan Ernst Neufert berarti penempatan pintu harus memperhatikan ketepatan pada sirkulasi aktivitas penghuni. Ketidaktepatan penempatan pintu menyebabkan sirkulasi aktivitas penghuni mengalami gangguan penggunaan ruang dan pemanfaatan tempat. Penempatan pintu-tembus (penghubung antara dua rumah tinggal) di dinding dapur pada salah satu pemilik rumah tinggal menandakan ada keterkaitan dengan aktivitas penghuni di dapur.

Hal menarik ketika kita menelisik tentang bukaan pintu-tembus jenis dorong. Penghuni rumah tinggal yang memiliki pintu-tembus akan memperoleh kuasa ketika mendorongnya. Tapi kuasa itu dapat diredam oleh penghuni rumah tinggal satunya dengan menggerendel pintu-tembus. Karena itu, dalam membuka pintu-tembus, ada kesepakatan bersama antar penghuni rumah tinggal, misal minta izin.

Penampakan pintu-tembus jenis dorong ketika dibuka dan ditutup. Kuasa penghuni rumah tinggal yang dapat mendorong pintu-tembus jenis dorong dapat diredam oleh penghuni rumah tinggal satunya dengan cara menggerendel.
Fotografer: Luqman Hakiem (2016)

Beda lagi jika pintu-tembus jenis geser. Kuasa sepenuhnya ada pada pemilik yang memiliki kunci. Kebetulan, saya mengetahui pintu-tembus jenis geser digunakan dua penghuni rumah tinggal yang masih hubungan orang tua dan anak. Kebetulan lagi, pintu-tembus jenis geser itu tidak memiliki kunci jadi bisa dibuka suatu saat. Kita menilai kuasa di antara mereka saling melebur.

Pintu-tembus tidak hanya jenis dorong tapi juga bisa jenis geser
Fotografer: Luqman Hakiem (2016)

Dapur

Pada rumah tinggal di Kampung Pasar Gede yang memiliki pintu-tembus, dapur bukan hanya sebagai ruang bagi aktivitas penghuni untuk memproses makanan atau minuman; menyimpan makanan, minuman, atau alat makan; serta membersihkan alat makan. Ketika pintu-tembus dibuka oleh penghuni, dapur bisa sebagai tempat bersosial.

Beragam cara bersosial dua penghuni rumah tinggal ketika pintu-tembus dibuka, seperti bercengkerama di dapur milik salah satu penghuni rumah tinggal; meminjam kamar mandi ketika salah satu penghuni rumah tinggal tidak memiliki air, hingga meminta bumbu makanan (gula, garam, hingga merica).

Penghuni rumah tinggal yang tidak memiliki pintu-samping dan pintu-belakang (dua pintu untuk keluar-masuk rumah tinggal selain pintu-utama) dapat memanfaatkan pintu-tembus sebagai sirkulasi menuju pintu-samping dan pintu-belakang milik tetangganya (rumah tinggal yang terhubung pintu-tembus).

Dapur dan pintu-tembus akan sangat berguna ketika penghuni salah satu rumah tinggal sedang “gawe” (hajatan), misal: slametan, khitanan, tahlilan, dan sebagainya. Karena itu, dapur milik salah satu penghuni rumah tinggal yang lain (tidak sedang “gawe”) bisa dipinjam untuk keperluan memasak atau menyimpan berkat.

Bagi anak yang telah berkeluarga, kebetulan memiliki rumah tinggal berdempetan (di samping atau di belakang) dengan rumah tinggal orang tuanya, pintu-tembus dapat selalu dibuka untuk menjaga orang tuanya. Dapur di rumah tinggal orang tuanya pun dimanfaatkan anak untuk kebutuhan orang tuanya.

Kita jadi membayangkan bagaimana dua penghuni rumah tinggal yang masih kerabat (jauh atau dekat) tetap menjaga keharmonisan mereka lewat dapur ketika pintu-tembus dibuka. Keharmonisan hubungan keluarga itu umumnya terjalin dalam pemaknaan rumah atau “omah”. Dan “omah” sendiri berarti:

“…Rumah itu Omah,/ Omah itu dari Om dan Mah,/ Om artinya O, maknanya langit, maksudnya ruang, bersifat jantan./ Mah, artinya menghadap ke atas, maknanya bumi, maksudnya betina./ Jadi rumah adalah ruang pertemuan laki dan rabinya./ Karenanya kupanggil kau Semah, kerna kita serumah./ Sepuluh pelataran rumah kita bersih cemerlang./ Supaya bocah-bocah dolan pada krasan…” (Darmanto Jatman dalam Y.B. Mangunwijaya, 2009).

 

Keterangan:  Penyebutan pintu-tembus terinspirasi dari salah satu informan (pemilik rumah) yang menyatakan pintu itu sebagai “mbus-mbusan”. Kata “mbus-mbusan” saya pikir serupa kata “tembus” atau “hembus”.

 

Catatan: Kolom Sastra GresikSatu diasuh oleh penyair dan penikmat seni rupa Aji Saiful Ramadhan yang tinggal di Gresik.

 

Daftar Bacaan

Ernst Neufert (1996), Data Arsitek Jilid I, Jakarta: Erlangga

Y.B. Mangunwijaya (2009), Wastu Citra, Jakarta: Gramedia

Rekomendasi Berita

Advertisement

Gresik Gres