Oleh : Sussi Widiastuti
Pemerintah telah melakukan perubahan sistemik untuk mengatasi krisis pembelajaran yang terjadi cukup lama yang diperparah oleh Pandemi Covid-19. Melalui Kurikulum Merdeka pemerintah berusaha memulihkan pembelajaran dari krisis yang sudah lama kita alami. Kurikulum Merdeka adalah kurikulum yang memfasilitasi siswa untuk memiliki waktu yang cukup dalam menguatkan kompetensi dan mendalami konsep.
Kurikulum Merdeka dibangun dari filosofi pendidikan rekonstruksi sosial. Filosofi dari rekonstruksi sosial adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa yang berakar pada sebuah keyakinan bahwa pendidikan seharusnya fokus pada rekonstruksi masyarakat. Jika dilacak lebih jauh, rekonstruksi sosial bersandar pada filsafat eksperimentalisme dan eksistensialisme. Eksperimentalisme adalah filsafat pendidikan yang menekankan pandangan bahwa semua proses belajar mengajar harus berpusat pada kepentingan dan kebutuhan siswa, sedangkan eksistensialisme adalah filsafat pendidikan yang memprioritaskan individu dan subjektivitas. Keduanya bertujuan untuk mengembangkan berpikir reflektif, menghargai minat, dan kecenderungan siswa sehingga eksistensi peserta didik dapat diakui.
Kurikulum yang berlandaskan rekonstruksi sosial merefleksikan “ideal demokratis dan menekankan pada pendidikan sipil”. Berdasarkan pada pemahaman ini, kurikulum harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat pada service learning sehingga siswa mendapatkan pengalaman langsung tentang masalah sosial dan isu-isu kontroversial. Siswa ditantang untuk berpikir kritis mengenai ketidakseimbangan/ketidaksetaraan yang ditemui di masyarakat. Materi kurikulum yang disajikan tidak hanya menyoroti kesenjangan sosial, tetapi juga harus memancing respon emosional siswa sehingga mereka merasa terpanggil untuk mengambil tindakan dan mencari cara untuk mengatasi ketidakadilan yang mereka identifikasi. Ketimpangan ini terselebung dalam hidden curriculum.
Hidden curriculum adalah kurikulum yang tersembunyi, tidak tersurat, seringkali mengacu pada nilai moral, pesan sosial, dan karakter. Bagaimana hidden curriculum rekonstruksi sosial pada Kurikulum Merdeka? Hidden curriculum dieksplorasi di Kurikulum Merdeka melalui Profil Pelajar Pancasila (PPP) yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2020-2024. PPP adalah perwujudan pelajar Indonesia sebagai pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas enam dimensi, yaitu 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, 2) berkebinekaan global, 3) bergotong royong, 4) kreatif, 5) bernalar kritis, dan 6) gotong royong. Keenam dimensi tersebut diharapkan akan menumbuhkembangkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila. Siswa bisa menempatkan dirinya sebagai masyarakat terbuka yang berkewargaan global, tapi tidak kehilangan ciri dan identitas khasnya.
PPP dicapai melalui pembelajaran intrakurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, kegiatan kokurikuler (Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), dan budaya positif. Pada pembelajaran intrakurikuler, semua capaian pembelajaran harus bermuara pada PPP, artinya PPP menjadi tujuan akhir dari suatu kegiatan pembelajaran yang berkaitan erat dengan pembentukan karakter siswa. PPP dapat tercermin dalam konten dan/atau metode pembelajaran. Pada kegiatan ekstrakurikuler, PPP dapat diintegrasikan dalam kegiatan pengembangan minat dan bakat. Sebagai bagian dari budaya sekolah, PPP diintegrasikan ke dalam kebijakan, norma yang berlaku di sekolah, pola interaksi dan komunikasi, serta iklim di sekolah.
Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), sebagai salah satu sarana pencapaian PPP, memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dari lingkungan sekitarnya sehingga siswa dapat “mengalami pengetahuan” sebagai proses penguatan karakter. Siswa dapat melakukan aksi nyata dalam menjawab isu-isu seperti kehidupan berdemokrasi, perubahan iklim, teknologi, wirausaha, budaya, anti radikalisme, dan kesehatan mental sesuai dengan tahapan belajar dan kebutuhannya.
Dalam rekonstruksi sosial, siswa dikenal sebagai agen perubahan. Banyak orang meragukan keberadaan siswa, apakah mampu memberikan dampak pada masyarakat. Bagaimanapun rekonstruksi sosial percaya bahwa siswa adalah unsur kritis pada perubahan sosial. P5 adalah pembelajaran dimana siswa dapat menginisiasi perubahan dengan cara mengamati dan memikirkan solusi terhadap permasalahan di lingkungan sekitar untuk menguatkan berbagai dimensi dalam Profil Pelajar Pancasila. Siswa menjadi agen perubahan rekonstruksi sosial melalui Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum Merdeka.
Penulis adalah: Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.