Quarter Life Crisis, Fase Hidup yang Menggemaskan

Oleh : Abdul Jalil *

Dewasa ini, Quarter Life Crisis tengah ramai diperbincangkan. Di antaranya tertampil melalui konten-konten yang tersebar di sosial media. Ada yang menginfokan tentang ciri-cirinya, fenomena, hingga treatment bagi netizen yang sedang menghadapinya.

Quarter Life Crisis merupakan istilah yang menunjukkan kondisi psikologis pada manusia dengan usia seperempat abad (kehidupan). Quarter Life Crisis adalah fase ketidakstabilan kondisi psikologis, kebimbangan soal hidup dan tujuannya, yang sering terjadi pada seseorang di usia awal 20 hingga 35 tahun. Menurut Afnan, Fauzia, dan Tanau (2020), quarter-life crisis merupakan keadaan labil yang memuncak pada individu, munculnya pilihan-pilihan mengenai konsep diri dan tujuan hidup, hingga rentan mengakibatkan panik dan gelisah.

Indonesia yang mendapatkan bonus demografi, ditandai meningkatnya populasi penduduk dengan kisaran usia 20 hingga 30-an, menjadi wajar ketika Quarter Life Crisis kian marak sebagai trending topik.

Sering kali orang pada fase Quarter Life Crisis mengalami perilaku Impulsif. Perilaku di mana seseorang terlalu mudah mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang matang. Seperti halnya mudah berhenti pada suatu pekerjaan yang menjenuhkan dan segera beralih. Contohnya, ketika kurang nyaman di suatu pekerjaan, seringkali langsung merasa nggak cocok dan akhirnya berhenti, lalu mencari pekerjaan baru.

Hal ini nampak pada pemuda/pemudi yang sering gonta-ganti pekerjaan, mudah memutuskan untuk resign dari tempat kerja karena hal yang membuat dirinya kurang nyaman, tanpa berusaha melihat hal lain sebagai pertimbangan. Dampaknya, seseorang tersebut akan sulit beradaptasi, karena hanya ingin lingkungannya sesuai apa yang diinginkan.

Seseorang yang mengalami Quarter Life Crisis sering merasa hidupnya “stuck”, dan terjebak, kalo kata orang Gresik “urip ngena-ngene ae”. Pada saat itulah muncul dorongan adrenalin untuk berubah dengan harapan mendapatkan hidup yang dianggap layak. Tapi, di sisi lain belum ada pandangan pasti untuk melangkah, sehingga rentan mengalami gelisah.

Baca juga:  Keterkaitan Air Bersih Terhadap Pendidikan: Meningkatkan Kesehatan dan Prestasi

Pada usia Quarter-Life-Crisis, seseorang dihadapkan dengan keadaan lingkungan yang sangat beragam. Mengingat usia 20-30 tahun merupakan tahap usia di mana seseorang mendapati banyak perubahan, terkait aktivitas, karier, hubungan, dan lain-lain. Karena itulah seseorang pada fase Quarter-Life-Crisis cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain, terlebih teman atau orang seusianya.

Dampaknya, rasa insecure rentan muncul. Seseorang cenderung kurang percaya diri, ketika ia melihat hidup yang dijalani tidak seperti orang-orang yang dianggap mampu mencapai impiannya. Seringkali merasa bahwa hidupnya dan apa yang dimilikinya tidak lebih baik dengan hidup orang lain.

Begitu kompleks apa yang dialami seseorang pada fase Quarter-Life-Crisis. Belum lagi orang tua pasti punya angan-angan atau impian tertentu. Dan seringkali hal itu terwujud pada sikap yang menujukkan harapan penuh. Sedangkan sebagai anak, seseorang di usia 20-30 tentu kebingungan ketika merasa dirinya belum mampu mewujudkan impian orangtuanya.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh orang pada fase tersebut? Sikap seperti apa yang selayaknya mampu merespon fase “menggemaskan” itu? Ingin berubah, ingin melangkah ke hidup lebih baik, ingin disebut memiliki kehidupan yang layak, tapi kurang mengerti bagaimana cara meng-“treat” dirinya sendiri.

Mungkin alangkah baiknya, hal dasar untuk menghadapi fase tersebut adalah dengan menyadari bahwa itu merupakan fase normal yang terjadi pada setiap orang; merupakan satu jalan hidup yang memang selayaknya harus dilewati.

Baca juga:  Yang Menakjubkan dari Peristiwa Isra’ Mi’raj

Kita, yang sedang mengalami fase Quarter-Life-Crisis perlahan harus memahami diri kita sendiri. Kita tingkatkan “Self Love” dengan mulai mengukur hal baik yang paling mungkin kita lakukan. Karena untuk menjadikan semuanya lebih baik, harus kita awali dengan kebaikan-kebaikan yang paling mungkin kita lakukan.

Lingkungan sebagai “support system” juga sangat diperlukan. Sebisa mungkin kita buka diri kita untuk bergabung dan menerima orang-orang baik yang ada di sekitar kita. Hal itu akan menjadi salah satu dukungan yang menguatkan diri kita dan menjadikan kita mampu menghadapi fase yang rumit sekalipun.

Selayaknya kita juga harus segera berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain; membandingkan hidup kita dengan hidup orang lain. Perlu kita perkuat pemahaman bahwa setiap orang menjalai hidupnya dengan versi masing-masing. Setiap orang juga pasti punya jatah sedih dan bahagia, sebagaimana kodrat manusia.

Bakat dan minta yang sekiranya nampak pada diri kita, selayaknya dikembangkan dengan sungguh-sungguh. Karena sangat mungkin hal itu menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih baik dan berkualitas.

Jangan ragu mencoba hal baru, bila itu perlu dan mungkin memiliki dampak baik pada diri kita. Kita akan semakin matang sebagai manusia, ketika semakin banyak berkecimpung dengan banyak hal.

Tetap istiqamah dan sabar menjalani apa yang sudah seharusnya dijalani. Dan kita juga perlu memperkuat kesadaran bahwa kita sedang berproses. Setiap fase hidup adalah proses yang tidak bisa kita hindari. Maka harus kita nikmati. Stay enjoy your life!

*Penulis adalah Guru BK SMK Islamic Qon Gresik

Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler

spot_img