Refleksi hari Raya idul Adha 1443H, Menyembelih Keserakahan

Oleh: Priyandono ** 

Setiap manusia pasti memiliki keinginan. Setiap manusia pasti memiliki harapan dan cita-cita. Itu merupakan sesuatu yang jamak. Mengapa? Karena manusia memiliki nafsu. Nafsu inilah yang membedakan antara manusia dengan hewan.

Manusia yang mampu mendewasakan nafsunya, mereka akan dapat mengontrol dan mengarahkan keinginannya. Dalam mewujudkan keinginan dan cita-citanya mereka melewati jalan yang lurus meskipun jalan itu tidak bertabur mawar yang indah. Tetapi penuh onak dan dari.

Sebaliknya, manusia yang selalu mengumbar nafsunya, mereka akan selalu menuruti keinginannya. Celakanya, terkadang upaya dalam mewujudkan keinginannnya itu dilakukan dengan cara-cara yang culas. Tendang sana, injak sini, yang penting keinginannya terwujud. Keinginan dalam dirinya tidak dikendalikan dan dibiarkan berjalan liar hingga menenggelamkan kebenaran yang ada dalam dirinya. Akibatnya muncul sifat keserakahan.

Orang-orang serakah itu tidak bsa membedakan antara keinginan dengan kebutuhan. Ada sebuah guyon parikeno, kalau ingin mengetahui ciri-ciri orang serakah itu gampang. Lihat saja ketika acara prasmanan. Orang serakah akan mengambil semua makanan yang tersaji. Kadang cuma dimakan sesendok dua sendok kemudian ditinggal, lalu mengambil makanan lagi. Begitu seterusnya. Orang yang tidak serakah megambil makanan sesuai kebutuhannya. Dia mengambil makanan secukupnya. Dimakan pelan-pelan, dinikmati.

Keserakahan merupakan kesalahan pertama yang dilakukan manusia. Ia kemudian menjadi noda hitam yang menjadi penghalang terang cahaya di hatinya. Penyebab utamanya karena keinginan yang berlebihan. Orang-orang yang dibelit oleh keserakahan memiliki anggapan bahwa keinginannya itu akan mengantarkannya menuju tangga kebahagiaan. Belum puas dengan satu jabatan, berusaha “ngroyok” jabatan orang lain. Setelah diraih, amanah itu ditelantarkan begitu saja. Jabatannya disalahgunakan. Tanpa belas kasihan mereka mengangkangi hak-hak rakyat kecil demi mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Semua yang ada di depan mata dilahap untuk memenuhi keinginannya. Mereka seolah lupa bahwa itu adalah semu dan di akhirat kelak menjadi kehinaan dan penyesalan.

Baca juga:  Peringati Hari Raya Kurban, DPC PPP Sembelih Dua Sapi 

[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Baca Juga ” background=”” border=”” thumbright=”no” number=”1″ style=”list” align=”none” withids=”” displayby=”cat” orderby=”date”]

Keserakahan telah memproakporandakan sistem dan norma yang telah dibangun dengan susah payah. Orang-orang yang serakah selalu mencari celah menerobos sistem dan norma tersebut untuk mewujudkan keinginannya. Para pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kebanyakan karena faktor keserakahan.

Setiap tahun kita memeringati hari raya Idul Adha. Besok, Minggu (10/7/2022) bertepatan dengan peringatan Idul Adha 1443H. Setidaknya terdapat 3 dimensi dari peringatan tersebut. Pertama, dimensi spiritual-religius. Penyembelihan hewan kurban merupakan salah satu bukti ketaatan kita kepada Allah SWT.

Kedua dimensi sosial. Idul Adha merupakan momentum berbagi kebahagian dengan sesama dengan menikmati daging kurban bersama dengan saudara-saudara kita yang kurang mampu. Dimensi sosial ini menyadarkan kita bahwa hidup berdampingan, saling berbagi dan saling menguatkan itu penting sekali. Artinya, kesalihan sosial juga sangat penting di samping kesalihan ritual.

Baca juga:  Menyiapkan Pembelajaran di Era Endemi

Ketiga, dimensi personal. Makna paling mendasar dari Idul Adha adalah mendewasakan nafsu, mematangkan ego dan menyembelih simbol keserakahan. Melalui Idul Adha kita dapat mengambil hikmah agar senantiasa dapat menjaga diri dan keluarga dari sifat yang berlebihan. Di samping itu juga dapat mengendalikan nafsu dan tidak egois.

Semoga pada peringatan Idul Adha tahun ini dan seterusnya kita dapat menghadirkan makna substansial yang tergambar seperti pada dimensi di atas. Ini sangat penting tersebab ranting-ranting kehinaan tak akan tumbuh kecuali dari benih keserakahan. Ketidakmampuan mengukur diri sendiri berdampak pada kegagalan membedakan antara kemauan dengan kebutuhan. Sehingga banyak yang kehilangan urat malunya. Kala rasa malu ini sudah tidak dimiliki, pelanggaran terhadap hukum akan terus mengapung ke permukaan. Korupsi terus memimpin dan menjadi juara.

KH. Abdurrahman Wahid berpesan, Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan hingga mati-matian,”. Oleh sebab itu kalau bukan atas kehendak-Nya jangan meminta jabatan yang membuat hidup ini terus dibayangi kenistaan. Raihlah segala bentuk kemuliaan dan kehormatan secara alamiah. Mari kita wujudkan semua mimpi dan keinginan setelah benar-benar kita renungkan bersama zat yang menjadi sumber segala sebab. (*/)

Prinyandono adalah Penulis Buku Berbisnis dengan Tuhan

Rekomendasi Berita

Advertisement

Terpopuler

spot_img