Oleh: Abdul Jalil*
Ramadan selalu datang setahun sekali. Aneka sambutan, mulai dari yang paling gegap-gempita, hingga yang paling khusyuk dengan ritual-ritual khas di bulan mulia itu dilakukan oleh umat Muslim. Memang bulan Ramadan menjadi bulan istimewa, karena di dalamnya banyak aktivitas keagamaan yang telah membudaya di lingkungan mayoritas muslim.
Di Indonesia, wajah Islam dan nasionalisme exposure-nya meningkat ketika Ramadan. Selama 1 bulan penuh banyak kita saksikan kegiatan keislaman yang ramai diikuti orang. Tidak hanya kegiatan yang terselenggara di berbagai tempat secara langsung, konten-konten media sosial terkait keislaman juga mendapatkan perhatian banyak kalangan, yang hal itu nampak pada tingkat view yang cukup tinggi.
Begitu juga perihal nasionalisme di Indonesia, khususnya dalam frame toleransi yang menjadi salah satu sifat bangsa kita yang sejak dulu selalu akrab dengan keberagaman. Saat banyak dari warga negara yang menjalankan puasa di siang hari, jarang pula kita dapati pesta maupun kegiatan makan-makan yang berlangsung terang-terangan. Padahal di sisi lain, ada juga saudara kita se-tanah air yang tidak dikenakan kewajiban puasa.
Dan semakin dini, semakin minim kita temui aksi “sweeping” warung-warung yang buka di bulan Ramadan. Justru warung-warung yang masih buka itu memberikan tirai agar tidak mengganggu atau untuk menghargai orang yang berpuasa. Memang, wajarnya demikian, bahwa kita tidak layak meminta atau bahkan memaksa orang lain menghargai kita, tapi justru kita yang harus memaksa diri kita untuk menghargai orang lain.
Selain budaya puasa dan sikap-sikap mulia yang sering nampak di bulan Ramadan, ada juga tradisi-tradisi khas daerah yang rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Contohnya di Gresik, ada beberapa tradisi yang senantiasa lestari dan selalu ramai diikuti masyarakat hingga kini. Setiap tradisi itu pasti menyimpan sejarah yang melatarbelakanginya.
Di antaranya, Kolak Ayam Sanggring setiap malam 23 Ramadan di Desa Gumeno, yang dulu dimulai oleh Sunan Dalem (murid Sunan Giri). Lalu ada “Malem Selawe” setiap malam 25 Ramadan di Giri, yang diawali oleh Sunan Giri dan santri-santrinya bermunajat meraih “Lailatul Qadar”. Dan saat mendekati Lebaran ada “Pasar Bandeng” yang digelar di sekitaran pasar Gresik, yang pada mulanya pasar itu terjadi karena banyak santri Sunan Giri yang belanja oleh-oleh khas Gresik, khususnya Bandeng, sebelum melakukan mudik atau pulang kampung.
Nilai sejarah lokal selalu menghiasi bulan Ramadan, dan masyarakat selalu antusias mengikutinya. Dan di era perkembangan teknologi ini, tradisi yang mengandung sejarah tersebut lebih mudah disosialisasikan, di antaranya melalui kanal-kanal media sosial. Dengan demikian, mungkin banyak yang belum tahu awal mula sebuah tradisi diadakan, tapi dengan sosialisasi yang mudah dijangkau, kian banyak pula masyarakat yang mengetahuinya. Tidak hanya ikut memeriahkan, tapi juga sadar, tahu, dan menghayati nilai sejarahnya. Betapa spesialnya Ramadan. Ia merupakan bulan yang memiliki vibeskhusus di tempat atau wilayah manapun. Oleh karena itu menjadi dilema ketika bulan Ramadan hampir berlalu.
Muncul perasaan Bahagia karena hari raya tiba, tapi juga ada perasaan sedih ketika vibes Ramadan akan hilang. Suara tadarus yang mengalun setiap malam akan hilang. Malam akan kembali hening. Masjid maupun mushola rentan sepi. Kumpul-kumpul keluarga pun tidak akan seintens selama Ramadan. Dan mungkin amalan-amalan agama akan dilupakan setelah lewat Ramadan.
Tidak mungkin Tuhan memberikan pola Ramadan kepada umat-Nya tanpa maksud dan tujuan. Di Al-Quran ayat yang menjelaskan digariskannya puasa kepada umat Islam menyebutkan tujuannya tidak lain agar bertakwa, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah: 183).
Salah satu rukun Islam yang unik adalah puasa. Puasa merupakan ritual yang urusannya hanya antara si pelaku dan Tuhan. Ritual atau ibadah lain yang dilakukan umat Islam memberikan ruang untuk diketahui orang lain. Tapi tidak dengan puasa. Kita tidak benar-benar tahu seseorang itu berpuasa atau tidak. Dan kita bisa saja mengaku berpuasa, akan tetapi melakukan makan atau minum diam-diam tanpa seorang pun tahu. Maka dalam sebuah hadits Tuhan menyampaikan bahwa “..puasa milikku”.
Secara bahasa puasa diartikan dengan imsak atau menahan. “Notifikasi” waktu imsak yang terdengar dari toa-toa masjid merupakan tanda bahwa saat itu kita harus mulai menahan, atau sebagai tanda hampir berakhirnya saat sahur. Sepanjang hari selama berpuasa kita diwajibkan menahan diri dan mengendalikannya. Kita dilatih menahan diri dari hasrat makan, minum, dan lain-lain. Tidak hanya urusan biologis, ditekankan juga untuk menahan diri dari amarah, emosi negatif yang meluap-luap, dan segala perilaku tercela.
Sebagai manusia kita memang rentan melakukan hal-hal yang bersifat pelampiasan. Ketika lapar, kita balas dengan makan sebanyak-banyaknya, ketika hatinya terganggu, marah sejadi-jadinya, dan lain-lain. Adanya puasa juga untuk mengatasi kebiasaan kurang baik itu. Hawa nafsu yang diberikan Tuhan kepada kita sebagai manusia, memang tidak bisa kita hilangkan, tapi bisa dikendalikan.
Pengendalian diri merupakan sebuah hal yang disepakati baik untuk dilakukan manusia. Banyak teori filsafat maupun psikologi yang membahas tentang pegendalian diri. Menurut Sigmun Freud, salah satu tokoh Psikologi, manusia hidup karena ada dorongan hasrat atau ia menyebutnya Id yang berarti libido. Dorongan itu sudah selayaknya dimiliki manusia, akan tetapi akan menjadi petaka jika tidak dikendalikan.
Teori Filsafat Stokisme juga membahas tentang pengendalian diri. Teori filsafat yang menekankan pada kualitas hidup seseorang tersebut memiliki pemahaman bahwa seseorang yang tenang hidupnya adalah seseorang yang bisa mengendalikan dirinya sendiri. Peristiwa yang terjadi di luar diri manusia, menurut teori Stoik, tidak berdampak apa-apa ke dalam diri, kecuali manusia itu memiliki reaksi internal terhadap peristiwa tersebut.
Oleh karena itu, hidup tenang bisa diraih ketika kita spend energi untuk hal-hal yang bisa kita kendalikan, yakni diri sendiri. Seburuk apapun keadaan yang kita alami, menurut teori Stoik, kita tidak akan menyalahkan orang lain, tapi kita akan sibuk mengatur dan mengendalikan diri kita agar mencapai titik netral atas keadaan tersebut.
Kiranya puasa bisa diartikan sebuah laku spiritual. Dengan puasa seseorang melakukan perjalan ke dalam diri sendiri, menghitung apa-apa yang kurang sesuai pada dirinya selama ini, baik pikiran, sikap, maupun tindakan. Dengan menahan seluruhnya hawa nafsu, seseorang bisa lebih fokus melihat dan memperbaiki dirinya.
Dengan demikian, Ramadan yang didalamnya diwajibkan puasa, layaknya “Kawah Candradimuka” bagi umat muslim. Di dalam “kawah” itu, umat Muslim digembleng dengan puasa dan aktifitas-aktifitas Islami, agar nantinya ketika Idulfitri tiba, ia seperti lahir kembali dengan kondisi diri yang lebih baik untuk menjalani hari atau bulan selanjutnya. Ramadan bisa juga diumpamakan “Workshop”, yang mana post-tesnya adalah 11 bulan kedepan pasca Ramadan. Lulus tidaknya seseorang, bergantung tingkat ketakwaan atau lelaku dirinya ketika pasca Ramadan.
Waktu pasti terus melaju. Bulan pasti berganti, begitupun bulan Ramadan. Hal yang bisa kita ambil dan bawa untuk menjalani hari-hari selanjutnya hanyalah nilai-nilai kemulaiaan di bulan Ramadan. Kita tidak bisa selalu berada di bulan Ramadan, tapi kita bisa menerapkan nilai-nilai Ramadan di dalam diri kita dan lelaku kita. Maka perlu kita ”ramadankan” hati, pikiran dan perilaku kita.
*Penulis adalah Guru BK di SMK ISLAMIC QON, GKB – Gresik