Oleh: PRIYANDONO*
Lebaran sudah di ambang pintu.
Secara ‘syariat’ mudik dan pulang kampung itu sama, yakni: pulang ke kampung halaman. Siapa pun orangnya, ketika mendengar kata mudik pasti senang. Anak anak misalnya, ketika ada pengumuman libur hảri raya pasti senang. Karena sebentar lagi mereka akan pulang ke rumah nenek dan kakeknya di desa. Di sana mereka bersilaturahmi dengan keluarga besarnya. Kecuali itu mereka mengaku senang karena setiap lebaran nenek dan kakeknya memberi uang dan baju baru.
Tidak hanya anak-anak, orảng tuanya pun senang. Di samping penawar rindu terhadap kampung halaman tempat mereka lahir dan dibesarkan, mudik juga menjadi ậjang reuni. Kerinduan yang mendalam terhadap sanak saudara dan teman sepermainan saât masih kecil, sahabat-sahabat kala mengenakan seragam abu abu-putih menjadi magnit yang kuat untuk melakukan mudik. Rasanya ada yang kurang lengkap kalau lebaran tidak mudik.
Persiapan mudik dilakukan jauh hảri sebelumnya walaupun cost-nya cukup mahal. Kendati demikian perjuangan untuk bísa mudik tidak jarang dilakukan tanpa mempertimbangkan faktor keamanan. Keselamatan diri dan keluarganya dipertaruhkan agar bisa sampai ke tanah leluhurnya. Ada yang menerobos jendela bus. Ada juga yang naik di ấtas gerbong kereta api. Tidak hanya itu, ada yang motornya dídesain sedemikian rupa, bagian belakang ditambah ekstrasadel untuk barang. Satu anak di depan, di belakang istri menggendong anaknya yang lain. Bahkan saat mudik dilarang deperti saat pandemi dulu, tetap saja ada yang nekat melakukannya dengan mengelabuhi petugas. Salah satu modusnya, dengan berpura-pura mobilnya rusak, lalu diangkut mobil derek (towing).
Fenomena di atas adalah pulang kampung secara geografis. Mudik sosio-kultural. Kerinduan untuk pulang ke kampung halaman, bersilaturrahim dengan sanak saudara. Pakaian serbabaru, makanan dan minuman beraneka ragam jenis dan jumlahnya, perhiasan, mobil mewah, jamak dijumpai pada sosio-kultural ini. Sederet material itu dianggap sebagai simbol keberhasilan selama di tanah rantau. Segala upaya dilakukan, pinjam sana pinjam sini, yang penting saât di kampung halaman nanti dibilang sukses.
Di samping mudik sosio-kultural, ada juga mudik yang dibalut dengan spirit intelektual. Mudik ini didasari oleh sebuah upaya untuk membangun kesadaran sejarah. Kesadaran sẹjarah adalah orientasi intektual yang sangat penting. Ia sangat diperlukan agar seseorang paham tentang kepribadian. Lewat kesadaran sejarah seseorang dituntun untuk lebih memahami dan mengenal dirinya sendiri. Kampung halaman adalah tanah air yang sebenarnya dan nyata adanya. Menurut sejarah, manusia diciptakan dari tanah dan air. Ketika manusia paham dan sadar akan hal ini, maka mudik akan menjadi sarana mengingat kembali bahwa manusia berasal dảri tanah dan air yang akan kembali ke tanah dan air juga.
Mudik juga kerap dilakukan dalam bingkai spirit batiniah. Menurut Emha Ainun Nadjib, mudik adalah kembali ke rahim. Mudik adalah kerinduan untuk kembali kepada yang suci. Ia mengingatkan kembali tentang awal kejadian manusia, yaitu kehidupan rumah, di mana manusia kali pertama melihat dunia. Merenungi sâat di dalam rahim selama 9 bulan 10 hari. Tuhan pun berseru dengan sebutan yaa rahim. Tuhan maha penyayang dan kasih sayang-Nya mewujud pada kasih sayang (rahim) ibu.
Di samping itu, mudik juga didasari olehn spirit relijius. Mudik adalah pulang ke kampung halaman. Kampung halaman yang sebenarnya, yang kekal dan abadi yaitu akhirat. Melalui mudiklah sebenarnya kita diingatkan kembali pada kehidupan yang kekal. Lewat mudik juga kita diingatkan bahwa hidup manusia tidak hanya sebatas jengkal ruang dan waktu, namun perjalanan pulang ke kampung halaman abadi (akhirat) setelah melalui proses transformasi kematian.
Kematian adalah kawan sejati. Di saat yang lain menjauh kematian justru mendekat dan pasti. Ia tidak bisa dihindari. Sebab mati itu pantas. Anak kecil mati pantas. Remaja mati juga pantas. Orảng tua mati ya juga pantas. Pagi tampak sehat, sore dikabarkan mati, pantas. Sỏre hanya batuk-batuk ringan, paginya ada pengumuman dari masjid mati, juga pantas. Sudah banyak saudara-saudara kita yang mati. Mereka merindukan kita semua. Setiap hari mereka menunggu giliran siapa yang “mudik” atau “pulang kampung”.
Pada mudik level di atas ketika ditanyakan, banyak di antara kita yang ragu ragu dalam menjawabnya. Bahkan tidak sedikit yang takut. Kalau bisa dihindari ya menghindar. Mengapa? Karena manusia takut akan datangnya kematian. Mengapa takut mati? Karena hubuddunia. Sikap cinta kepada dunia yang berlebihan. Akibatnya menjadi budak dunia. Padahal semua itu adalah tipu daya. Mereka lupa bahwa kehidupan dunia adalah kesenangan yang memperdayakan. Illa mata’ul ghuruuri.
*Penulis Buku Berbisnis dengan Tuhan